Warga mengisi bahan bakar minyak jenis pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) jalan Cikini, Jakarta, Rabu (17/8). PT Pertamina (Persero) menghadiahkan Pertalite gratis di semua SPBU seluruh Indonesia untuk pelajar SD sampai mahasiswa doktoral yang mampu menghafal teks Proklamasi dalam rangka memeriahkan HUT ke- 71 Kemerdekaan Indonesia. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Vice President ISC Pertamina, Daniel Purba mengambil sikap bungkam dan tidak bersedia memberikan keterangan kepada Aktual.com saat dikonfirmasi tentang kebenaran adanya praktek oplosan dalam pembelian minyak.

Berdasarkan Informasi yang didapat Aktual.com, telah terjadi skandal tender yang dilaksanakan Pertamina pada bulan Juli 2016, untuk memutuskan membeli crude oplosan mirip kasus Zatapi. Pembelian dilakukan untuk 2 cargo kepada Glencore, seluruhnya akan datang pada bulan september ini, dengan perincian pada tanggal 13-14 September di Balikpapan dengan kapal MT Tataki, pada tanggal 16-17 September kapal dilaporkan akan datang dengan tujuan Dumai menggunakan MT Stavenger Blossom.

Isi dari kedua kapal itu adalah minyak oplosan yang terdiri dari minyak Sarir dan minyak Mesla dengan perbandingan 70% Sarir dan 30% Mesla.

Menjadi perhatian secara khusus, pengadaan spot bulan September ini semuanya dimenangkan oleh Glencore. Bulan September Spot Glencore mensuplai: Sarir/Mesla 2x600MB ke Balikpapan dan Dumai, Aseng 600MB ke Balongan, Bonny Light 950MB ke Balikpapan dan 600MB Nile Blend ke Balongan.

Pemilihan crude yang akan dibeli ini dilakukan bersama antara ISC dan Direktorat Pengolahan yang menjalankan kilang-kilang yang dimiliki Pertamina.

Pemilihan ini dilakukan dengan bantuan software GRTMPS, yaitu suatu software optimasi yang menggunakan pendekatan matematika dengan menggunakan asumsi-asumsi yang diinputkan oleh operator software yang notabene adalah pegawai direktorat Pengolahan Pertamina. Sesuai dengan karakteristik software optimasi, hasil yang didapat bukanlah hasil exact, tapi merupakan pendekatan saja yang hasilnya sangat ditentukan oleh operator software tersebut, seperti titik awal dari perhitungan optimasi. Beda titik awal perhitungan, maka hasil optimasi yang didapat kemungkinan juga berbeda.

Hasil perhitungan bukan merupakan hasil optimum mutlak, tapi hanya merupakan optimum relatif. Di sinilah sebenarnya kelemahan dari sistem pengadaan minyak mentah Pertamina, sangat tergantung dari operator software dan perintah dari atasan operator tersebut yaitu Direktur Pengolahan dan Direktur Utama. Bila operator tidak dapat memenuhi permintaan atasan, maka ia bisa saja dipindahkan ke tempat yang terpencil seperti di papua.

Berkaitan dengan cargo Sarir/Mesla yang disepakati dibeli oleh Pertamina untuk Spot bulan September ini, telah disepakati dengan perbandingan 70% Sarir dan 30% Mesla. Tapi pada kenyataannya, menurut sumber yang didapat, Glencore mencampurkan 30% Sarir dan 70% Mesla, kebalikan dari yang sudah disepakati oleh Pertamina.

Tentu saja campuran minyak tersebut akan menjadi lebih “ringan”, sedangkan Pertamina lebih memerlukan minyak berat untuk menghasilkan profit margin yang lebih besar bagi Kilang Pertamina. Bila campuran minyak mentah yang ringan tersebut tetap diproses oleh Pertamina, maka akan didapat kerugian mencapai lebih dari USD10 per barrel.

Informasi menyebutkan bahwa oplosan ini adalah cara untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Pihak lain menyebutkan bahwa minyak Sarir berjumlah sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh satu atau dua perusahaan saja, sehingga minyak ini digunakan sebagai alat untuk dapat memenangi tender karena tidak mempunyai saingan dalam tender.

Saat ini MT Tataki telah tampak berlabuh di Balikpapan dan menunggu untuk dibongkar. Kabarnya pihak pihak yang berkepentingan sedang bernegosiasi mengenai tambahan fee yang harus dibayarkan oleh Glencore supaya cargo tersebut dapat diterima oleh pihak pertamina.(Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Andy Abdul Hamid