“PDIP sama Golkar dihukum sebenarnya, karena trennya turun, meskipun tidak anjlok sangat signifikan tapi turun dari sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi di Kantornya, Jakarta, Rabu (11/10).

Menurut Burhanuddin, melorotnya tingkat elektabilitas PDIP dan Partai Golkar ini sama sekali tidak berhubungan dengan Presiden Jokowi, kendati dua partai tersebut menjadi partai pendukung pemerintah. Ia beranggapan jika masyarakat sudah dapat memisahkan antara sosok individu, dalam hal ini Jokowi, dengan kelompok yang mendukungnya, yakni PDIP dan Partai Golkar.

“Artinya pemilih melakukan proses disasosiasi antara Jokowi dengan PDIP sendiri dan Golkar. Dan ketika partai pendukung Pak Jokowi sangat konsentatif berhadapan dengan KPK, publik itu melakukan disasosiai, mengganggap Pak Jokowi itu tidak bagian dari dua partai utama pendukungnya yang selalu menjadi aktif dan vokal dalam pansus KPK,” jelasnya.

Berkaca dari hasil survei, sambung Burhan, kedua partai politik tertua di Indonesia itu telah diganjar hukuman dari masyarakat. Pasalnya, mayoritas masyarakat menilai Hak Angket KPK sebagai upaya pemelamahan terhadap lembaga antirasuah.

“Meskipun saya pribadi memandang KPK masih banyak PR (Pekerjaan Rumah). Kritikan dari sebagian anggota pansus, justified, tetapi ketika ada hal-hal lain (untuk melemahkan KPK), masyarakat juga tahu,” ucap Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan
Editor: Andy Abdul Hamid