Jakarta, Aktual.com – Ibadah i’tikaf adalah salah satu sunnah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw., khususnya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Syekh Subhi Husnaini, salah seorang Ulama al-Azhar Kairo Mesir mengatakan dalam sebuah wawancara dengan  stasiun TV Mesir bahwa Nabi Muhammad Saw. pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan selalu memperbanyak ibadah.  Dia, Nabi Muhammad Saw. melakukan i’tikaf dalam rangka memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah Swt. dan memutuskan sementara hubungannya dengan semua hal yang berhubungan dengan dunia.

Pada saat i’tikaf tersebut, Nabi Muhammad Saw. memperbanyak bacaan al-Qur’an, tasbih, shalat, sedekah disamping pada siang harinya ia melakukan puasa.

Syekh Subhi menambahkan, “Pada sepuluh terkahir bulan Ramadhan, Rasulullah Saw. memperbanyak   usahanya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.,padahal Rasulullah Saw. adalah seorang yang telah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan akan datang. Lalu bagaimana dengan kita  umatnya yang bergelimang kesalahan dan dosa? Sungguh, kita lebih berhak untuk melakukan hal tersebut.”

Beliau juga menjelaskan, bahwa makna kalimat i’tikaf adalah pengekangan (al-Habsu), yakni usaha seorang muslim untuk dapat mengekang dirinya di dalam masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. dengan memperbanyak ibadah.

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan juga merupakan kesempatan yang baik bagi seorang muslim untuk mengganti kelalaian yang selama ini ia lakukan pada hari-hari pertama maupun pertengahan bulan Ramadhan dengan melakukan pemusatan hubungan kepada Sang Pencipta.

Mengenai syarat dan adab melakukan i’tikaf, Syekh Subhi menjelaskan bahwa  syarat pertama dalam melakukan ibadah i’tikaf adalah niat. Adapun Ibadah i’tikaf  yang dilakukan di masjid hanya dianjurkan bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan lebih utama dilakukan di rumah. Namun, hal ini bukan berarti perempuan tidak boleh melalukan i’tikaf.

Kaum perempuan dimungkinkan untuk melakukan i’tikaf di masjid dengan syarat tidak dalam waktu yang lama dan dilakukan di tempat khusus  yang tidak ada percampuran antara laki-laki dan perempuan agar tidak ada hal-hal yang mengurangi esensi i’tikaf itu seperti berbicara dengan lawan jenis, tertawa dan bercanda.

Disyaratkan pula baginya untuk meminta izin suaminya dan hendaknya waktu yang digunakan beri’tikaf tidak mengganggu kewajibannya dalam mengurus anak-anaknya dan semua kemaslahatan rumah tangga.

Mengenai adab melakukan i’tikaf Syekh Subhi menambahkan bahwa yang pertama kali harus dilakukan seorang yang berniat i’tikaf adalah fokus kepada ibadah dengan memperbanyak tasbih, bacaan al-Qur’an dan shalat. Dan tidak diperkenankan bagi seorang yang berniat i’tikaf untuk keluar dari masjid kecuali untuk keperluan-keperluan yang darurat semisal membeli makanan, minuman mandi atau mengganti pakaiannya. Bahkan para ulama mengisyaratkan, bahwa kegiatan berta’ziah dan mengunjungi orang sakit pun harus diniatkan sebelum ia melakukan i’tikaf.

Hal serupa juga dijelaskan oleh Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta al-Mishriyyah) bahwa sesungguhnya penentuan waktu memulai dan mengakhiri i’tikaf ditentukan secara pribadi oleh mu’takif. Jika ia telah berniat i’tikaf dalam rentan waktu tertentu, maka disunnahkan baginya untuk menyempurnakan niatnya tersebut. Namun, jika ia keluar sebelum menyempurnakan niatnya itu, maka hal itu diperbolehkan. Karena tidak ada pembebanan untuk ibadah sukarela seperti i’tikaf.

Jika niat sudah terlanjur dilafalkan, namun ia tidak mampu melaksanakannya, ia masih mendapatkan nilai i’tikaf selama ia masih berada di dalam masjid. Dan tidak diperkanankan bagi seoang mu’takif untuk keluar dari masjid kecuali dengan alasan-alasan yang diperkenankan. Apabila itu dilanggar maka batalah i’tikafnya.

Lembaga fatwa Mesir juga menambahkan, bahwa dianjurkan bagi yang siapa yang ingin ber’itikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan untuk memulainya –masuk ke masjid- sebelum terbenamnya matahari pada malam ke 21 Ramadhan. Dan dianjurkan pula untuk menginap pada malam Idul Fitri dan berangkat ke tempat pelaksanaan shalat ‘Id dari masjid tempat ia ber’itikaf. Dan jika keluar sebelum itu, tetap diperbolehkan.

I’tikaf juga dianjurkan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan karena sesungguhnya mayoritas ulama mengatakan bahwa lailatul qadar bersembunyi pada malam-malam tersebut yang mana seorang muslim mesti berusaha untuk mendapatkan keutamaannya.
Dari Sayyidah Aisyah Ra., berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui malam lailatul qadar?”

Rasulullah Saw. bersabda, “Maka katakan dan berdoalah,Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan Mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.(Allahumma Innaka ‘Affuwun Tuhibul ‘Afwa Fa’fu anna)” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih). Wallahu A’lam

Penulis: Mabda Dzikra

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid