Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) melakukan aksi didepan kantor Menko Maritim, Jakarta, Jumat (10/11/2017). Dalam aksinya para mahasiswa IMM mendesak agar segera menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta dan mendesak Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan untuk turun dari jabatannya. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) mengajukan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PT TUN Jakarta) yang mengabulkan banding Gubernur DKI Jakarta terkait izin konsensi reklamasi Pulau F, I dan K.

Salah satu perwakilan KSTJ, Nelson Nikodemus Simamora menilai putusan PT TUN sebagai putusan hukum yang keliru. Sebab, PT TUN tidak menggunakan kaidah hukum yang benar yaitu prinsip Lex Posteriori Derogat Legi Priori, di mana hukum yang baru seharusnya digunakan dan mengesampingkan hukum yang lama.

“PT TUN Jakarta masih menggunakan dasar hukum Keppres 52/1995 tanpa mempertimbangkan adanya Pasal 72 Perpres 54 Tahun 2008  yang telah menyatakan Keppres No. 52/1995 tersebut dinyatakan tidak berlaku,” ujar Nelson.

Keppres 52/95 merupakan hukum positif yang dipakai sebagai landasan hukum  reklamasi Teluk Jakarta. Hanya saja, desain pulau yang tertera pada Keppres  berbeda dengan desain reklamasi saat ini.

Disisi lain, Majelis hakim dianggap sengaja tidak melakukan penilaian terhadap kewajiban memiliki rekomendasi dari Menteri kelautan dan perikanan terhadap lzin lokasi dengan luasan reklamasi diatas 25 hektar. Di mana Surat Keputusan atau Objek Sengketa tidak memiliki rekomendasi izin lokasi dan izin pelaksanaan dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

Nelson mengungkapkan, sejatinya hakim lingkungan memiliki keberpihakan kepada lingkungan. Lantaran kini, kondisi lingkungan pesisir sudah dirusak dan terdapat ancaman memperburuk kondisi lingkungan.

“Serta menimbulkan bencana, mengganggu atau merusak objek vital, mengganggu keamanan dan pertahanan negara. Ya dibatalkan saja (majelis Hakim) harus berani,” ucapnya.

Seperti yang diketahui, putusan PT TUN Jakarta tentang tiga pulau ini terbagi dalam tiga putusan, yang masing-masing dibacakan dalam sidang yang dilaksanakan pada 30 Oktober 2017 lalu.

Tiga putusan ini yaitu Putusan PT TUN Jakarta Nomor 177/B/LH/2017/PT.TUN.JKT (Pulau I); Nomor 183/B/LH/2017/PT.TUN.JKT (Pulau K); dan Nomor 184/B/LH/2017/PT.TUN.JKT (Pulau F).

Sementara di tempat yang sama, Ketua Pengdmbangan Hukum dan Pengembangan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata menambahkan, Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan UU No. 27 Tahun 2007 yang mewajibkan adanya Peraturan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Padahal pandangan ahli yang dajukan KSTJ menyatakan RZWP3K wajib bagi reklamasi yang terpisah dengan daratan.

“Hakim juga tidak mempertimbangkan pandangan ahli dalam yang menyatakan RZWP3K berperan untuk mengurangi konflik pemanfaatan,” katanya.

Marthin meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa seluruh majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Kadar Selamet bersama dengan anggota yaitu Hakim Sugiya, Hakim Ketut Rasmen Suta, Hakim Slamet Suparjoto, dan Hakim T. Sjahnur Ansjarikarena. Sebab, dia menduga adanya aroma korupsi dalam putusan tersebut.

“(Dilihat dari) Kejanggalan yang dibuat-buat. Bahkan sampai menafikan fakta-fakta hukum. Track record juga,” ucapnya.

Pewarta : Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs