Ada hal yang patut disorot bersamaan dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara anggota Indian Ocean Rim Association atau Assosiasi Kerjasama Lingkar Samudra (IORA) yang mana pada Selasa (07/03) kemarin telah berhasil menelorkan sebuah kesepakatan bersama di antara negara-negara yang berada di kawasan Samudra Hindia dengan ditandatanganinya sebuah kesepakatan yang disebut Jakarta Concord.

Kalau kita cermati negara-negara yang bermain sebagai “pemain kunci” selain Indonesia yang memang menjadi Ketua IORA adalah Australia, Afrika Selatan, India, Malaysia, Srilanka, dan Singapura. Adapunn kehadiran Afrika Selatan dan Mozambik, sangat bisa dimengerti sebagai wakil dari kepentingan negara-negara di Selat Mozambik di pantai Timur Afrika.

Di tengah persaingan global yang semakin menajam antara Amerika Serikat versus Cina di kawasan Asia Pasifik, formasi negara-negara tersebut tadi terkesan lebih condong mewakili The British Geopolitics.

Misal India dan Srilanka, hingga kini masih terjalin ikatan kerjasama dengan Inggris melalui Perhimpungan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth) mengingat dulunya merupakan negara-negara jajahan Inggris di kawasan Asia Selatan.

Adapun Malaysia dan Singapura, juga negara-negara eks jajahan Inggris yang masih terikat dalam Perhimpunan Negara-Negara persemakmuran, sebagai negara-negara eks jajahan Inggris di Asia Tenggara.

Maka itu, menarik mengupas bagaimana menjabarkan salah satu poin penting dari Jakarta Concord yaitu meneguhkan komitmen untuk memajukan kerjasama di sektor keamanan dan keselamatan maritim. Dan bagaimana  mewujudkan terciptanya kawasasn Samudra Hindia yang aman dan stabi, di tengah-tengah semakin menajamnya persaingan global AS dam Inggris di Asia Pasifik saat ini?

Kalau kita telisik sejarahnya, Samudra Hindia memang merupakan ajang persaingan dan bahkan perlombaan senjata antar negara-negara adikuasa sejak berlangsungnya Perang Dingin antara 1950-1991. Kenapa? Sebab salah satu yang krusial dari kawasan Samudra Hindia adalah Pulau Diego Garcia, yang secara geografis terletak di tengah-tengah Samudra Hindia.

Dan ketika bicara soal Pulau Diego Garcia, maka harus dibaca bukan semata-mata soal persaingan strategis maritim antar negara, melainkan juga mencakup unsur ekonomi, dan pelayaran.

Maklumlah, sejak dulu Samudra Hindia merupakan daerah pertemuan antar berbagai kepentingan negara-negara besar tidak saja di bidang strategis keamanan melainkan juga perdagangan, agama, kebudayaan, dan diplomasi.

Bahkan sejak abad ke-14, Samudra Hindia sudah menjadi ajang perebutan pengaruh antar negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol, Perancis dan Portugis. Sehingga jalur lautan untuk perdagangan antara Asia dan Eropa bisa diamankan. Hanya saja sejak abad ke-18 kawasan Samudra Hindia dikuasai kerajaan Inggris hingga berakhirnya Perang Dunia II.

Dibandingkan dengan Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik, luas Samudra Hindia tidak seluas kedua samudra terdahulu. Antara Afrika Timur dan Indonesia, jaraknya adalah 6 ribu mil.  Jika diukur dari utara ke selatan, panjangnya 6500 mil.

Nah, di tengah-tengah Samudra Hindia itulah, terletak Pulau Garcia yang sejak dahulu kala selalu jadi perebutan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, utamanya pada saat berlangsungnya Perang Dingin. Yang barang tentu saat ini, antara Amerika Serikat versus Cina.

Amerika saat ini punya sebuah pangkalan maritime di pulau tersebut. Bagi AS dan Inggris, Pulau Garcia dinilai strategis berfungsi sebagai fasilitas komunikasi untuk menghubungkan Ethiopia di Afrika dengan Australia Barat Daya.

Maka itu, terkait dengan hasil KTT IORA saat ini, kepentingan strategis Inggris mengamankan Pulau Garcia yang terletak di tengah-tengah Samudra Hindia, kiranya masih tetap jadi sasaran pokok. Apalagi kendali dan pengaruh Inggris terhadap negara-negara esk jajahannya dulu yang saat ini tergabung dalam Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran, mata-rantai komunikasinya masih tetap terhubung melalui Afrika Timur, Pulau Garcia, Pulau Gan, terus menuju Cocos Island ke Australia.

Maka tak heran hingga 1967, Inggris praktis memegang cengkaraman pengaruhnya di Samudra Hindia. Baru pada 1968, bersamaan dengan keputusan Inggiris untuk menarik armadanya dari kawasan ini atas dasar pertimbangan keuangan yang tidak memungkinkan. Disamping meningkatkan kehadiran kapal-kapal perangnya, Uni Soviet juga mengembangkan fasilitas-fasilitas pelabuhan. Bahkan melalui kawassan ini, Soviet menjalin kerjasama dengan Maritius untuk landing flight penerbangan dan fasilitas pelabuhan. Bahkan kerjasama dengan Sri Lanka, Yaman Selatan untuk Pulau Socotra dan Aden, sedangkan untuk Somali  untuk pelabuhan Wudu. Dengan India, untuk penyediaan fasilitas di Visakhapatnam.

Hanya saja berbeda dengan Amerika Serikat, sampai berakhirnya Perang Dingin, Soviet belum berhasil membangun pangkalan maritime.

Bukti nyata betapa strategisnya Samudra Hindia bagi AS dan Soviet, sama-sama mengincar perjanjian dengan Mauritius yang letaknya dekat dengan Pulau Garcia.

Selain kedua negara adikuasa tersebut memandang penting untuk mengusai fasilitas-fasilitas pelabuhan dan penerbangan yang tempat-tempat strategisnya memungkinkan untuk menguasai Laut Merah, Teluk Aden dan Laut Arab.

Agaknya Pulau Garcia memang merupakan aspek paling krusial dalam pertaruhan kepentingan antara AS, Rusia dan Cina saat ini. Sebab dengan menguasai Pulau Garcia yang berada di tengah-tengah Samudra Hindia melalui penguasaan fasilitas pelabuhan dan pangkalan udara, maka saja menguasai perairan di Samudra Hindia, melainkan juga dapat menguasai daratan Asia dan Afrika.

Maka tidak heran jika saat ini Samudra Hindia menjadi ajang perebutan pengaruh antara AS versus Cina, bersamaan dengan semakin memanasnya ketegangan kedua negara adikuasa tersebut baik Laut Cina Selatan maupun Semenanjung Korea.

Apalagi ketika memanasnya ketegangan antara AS versus Cina diwarnai dengan kegiatan pengembangan persenjataan nuklir, seperti terlihat dengan uji coba rudal balistik antar benua yang dilancarkan Korea Utara baru-baru ini, yang diikuti dengan maneuver AS membantu Korea Selatan membangun Sistem Pertahanan anti rudal kepada Korea Selatan.

Lantas, bagaimana dengan aspek geoekonomi yang jadi sasaran perebutan pengaruh antar negara-negara besar di negara-negara kawasan Samudra Hindia?

Beberapa negara yang tergabung dalam IORA seperti Indonesia, Malaysia dan Sri Lanka, masih tetap merupakabn negara-negara produsen karet alam. Bagi negara-negara industry maju baik Eropa maupun Jepang, Karet merupakan sumberdaya alam yang amat vital.

Indonesia dan Australia sendiri termasuk penghasil nikel. Cina, India dan Australia masih merupakan produsen batubara yang cukup besar. Adapun Timah Indonesia, Australia dan Thailand masih merupakan produsen andalan.

Terkait dengan KTT IORA di Jakaerta minggu ini, peran Australia yang kebetulan merupakan Ketua IORA sebelum Indonesia, layak untuk jadi sorotan khusus, Karena letaknya di sebelah Timur Samudra Hindia, selain strategi pertahanannya yang melekat dengan strategi pertahanan AS di Asia Pasifik.

Namun letak geografis Australia yang sebagai negara litoral Samudra Hindia, mendorong negara Kanguru ini untuk lebih empati terhadap masalah-masalah yang dihadapi negara-negara di kawasan Samudra Hindia.

Begitupun, sarana-sarana strategis Australia masih tetap digunakan untuk strategi pertahanan negara-negara blok Barat seperti AS dan Inggris seperti fasilitas-fasilitas di Australia Barat di Cockburn Sound,

Pada tataran ini, posisi silang Indonesia yang berada di antara Samudra Hinda dan Samudra Pasifik, menjadi sangat strategis. Betapa tidak. Pelayaran dari Eropa menuju Asia Tenggara dan Asia Timur Tenggara melalui Samudra Hindia, maka untuk masuk ke Indonesia, harus melalui Selat Malaka.

Indonesia yang terletak di antara Laut Cina Selatan dan Teluk Persia,sebenarnya mempunyai posisi yang strategis secara geostrategi. Apalagi ketika persaingan global AS versus Cina di Laut Cina Selatan belakangan ini semakin memanas.

Atmosfer maritim bakal semakin menarik bersamaan dengan semakin ketatnya persaingan global antara AS, Cina dan Rusia di Samudra Indonesia dan Selat Malaka dalam beberapa tahun mendatang.

Hendrajit