Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghardik Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Polri pada Jumat 11 Februari 2017 meminta keterangan Ustadz Bactiar Nasir (UBN) dan Ustadz Adnin Armas (UAA) terkait dengan rekening dan sumber-sumber dana kegiatan Aksi Bela Islam yang dilaksanakan oleh GNPF-MUI.

Info yang saya terima juga, Ustadz Bachtiar Nasir akan dimintai keterangan kembali pada 13 Februari 2017, sedangkan Ustadz Adnin Armas pada 15 Februari 2017.

Pemanggilan sendiri berdasarkan dugaan bahwa telah terjadi kegiatan pencucian uang atau money laundry atau tindak pidana pencucian uang (TPPU).

UBN dan UAA sama sekali tidak menyangkal bahwa dana kegiatan GNPF untuk kegiatan Aksi #411 dan Aksi #212 memang ditampung menggunakan rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua (YKUS) yang dipimpin UAA.

Kenapa demikian? Karena jelang Aksi #411 begitu besar animo umat Islam untuk memberikan bantuan dana, sedangkan UBN memandang tidak taktis untuk membuat rekening terlebih dahulu. Akhirnya UBN meminta izin lisan kepada UAA untuk menggunakan rekening dimaksud.

UBN bukan pengurus YKUS dan sebaliknya UAA walau mendukung penuh semua kegiatan GNPF-MUI namun beliau juga tidak ada dalam struktur kordinasi kerja GNPF. Apakah itu wajar? Wajar sekali.

Karena mereka sesama ustadz dan sesama penyampai dakwah yang kerap saling kerjasama dan saling bantu untuk meringankan urusan masing-masing dalam kegiatan dakwah. Kalau dipandang harusnya saling berhati-hati, memangnya ada apa? Pertanyaan malah patut diajukan kepada Polri.

Kenapa menduga ada aliran dana ilegal (TPPU)? Aliran yang mana? Dari rekening mana atas nama siapa? Rekening YKUS awalnya adalah terkait dengan penggalangan dana untuk membangun ulang Masjid Tolikara yang dibakar oleh warga non-muslim Tolikara. Jadi bukan rekening penampung kegiatan money laundry.

Di sisi lain, bagaimana lembaga penerima aliran dana menolak menerima aliran dana ilegal jika hal tersebut memang benar? Apa cara sebuah rekening menolak transfer? Bukankah ini regulasi perbankan yang umum, yaitu bisa menerima transfer dari rekening manapun.

Atau apakah jika misalnya dalam daftar pemberi dana tercantum nama Kapolri Tito Karnavian, maka GNPF-MUI dan YKUS harus segera menelpon beliau dan bertanya apakah uang yang anda transfer legal atau ilegal?

Sah-sah saja Polri menduga dan menginvestigasi dugaan money laundry. Tapi apakah pada tempatnya menyerang sedemikian rupa dengan langsung menuduh UBN dan UAA sebagai pelaku TPPU hanya karena menurut Polri ada dugaan aliran dana dari rekening tertentu. Harusnya Polri malah mengajak bekerjasama GNPF-MUI dan YKUS untuk menangkap pelaku TPPU sesungguhnya.

Itupun kalau memang ada dan terbukti adanya aliran ilegal tersebut. Gaya ugal-ugalan Polri ini sangat berbahaya bagi semua kegiatan perbankan nasional. Jika Polri memandang perlu untuk mencegah terjadinya aliran ilegal maka silahkan bekerjasama dengan BI dan OJK untuk membenahi hal ini.

Bukan meneror satu demi satu pemilik rekening. Semua kegiatan agama di Indonesia, agama apapun itu memiliki sumber-sumber keuangan dari zakat, infaq, sedekah, hadiah, donasi, hibah dan sejenisnya dari berbagai pihak.

Haruskah semua lembaga agama dan pengelolanya menutup rekeningnya hanya gara-gara agar tak dipanggil polisi, tak dimintai keterangan berjam-jam, rumah digeledah, keluarga dibentak-bentak dan dipandang buruk oleh tetangga serta masyarakat banyak? Haruskah berhenti semua kegiatan keagamaan? Sadarkah Polri dengan perilakunya secara tak langsung sedang membuat kegiatan dakwah seluruh agama jadi terancam operasinya?

Kalau sudah terhenti kelak semua kegiatan agama, lalu apa? Masihkan kita menganut Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah kita yang negara berdasar Pancasila ini sedang memberi ruang seluas-luasnya kembalinya PKI karena ruang beragama sudah dibasmi?

Di sisi lain, kejanggalan luar biasa dari Polri sejak dipimpin oleh Kapolri Tito Karnavian juga semakin terang benderang. Sebelum Ahok menjadi terdakwa, Kapolri bersusah payah menjelaskan kepada media makna kalimat Ahok di Kepulauan Seribu. Berkesan Kapolri sedang mengambil peran sebagai pembela Ahok, bukan sebagai penegak hukum yang berdiri di tengah. Sikap yang menunjukkan Kapolri berada berseberangan dengan Aksi Bela Islam.

GMBI berbuat anarkis di Bandung, hingga kini tidak ada proses hukum sama sekali. Kasus dugaan penyadapan bukan dituntaskan dengan memanggil para pihak yang berujar, cukup dinyatakan sepihak penyadapan tidak ada dan selesai.

Dugaan penyadapan ini masih terkait dengan pidana penistaan. Sementara berulang sejak Aksi #411, Aksi #212 dan Aksi #112, Kapolri memerintahakan jajarannya untuk menghambat aliran pergerakan Umat Islam menuju Jakarta untuk berzikir dan berdoa demi kebaikan bangsa dan negara.

Kenapa begitu keras Kapolri seolah berada di sisi seberang dari semua gugatan Umat Islam yang notabene masih mengacu ke hukum positif Indonesia?

Ada apa dengan Kapolri Tito Karnavian? Kenapa beliau berkesan sangat longgar kepada kegiatan non keagamaan dan berkesan sangat tegas dan penuh prasangka kepada berbagai kegiatan Islam? Bukankah Tito Karnavian juga beragama Islam? Menjadi janggal ketika seorang muslim tidak menyukai kegiatan zikir dan tidak berkenan melihat ustadz-ustadz bekerja memberikan siraman keimanan kepada umat.

Menuduh para ustadz berpolitik atas nama dakwah sejatinya adalah kebusukan hati dari sang penuduh. Bahkan patut diduga sang penuduhlah yang sedang berpolitik di atas kebangkitan kesadaran beragama Umat Islam. Apakah Indonesia tidak butuh lagi gerakan keagamaan? Apakah kita sedang dalam fase menciptakan antitesa Pancasila? Entahlah….
Ditulis: Teuku Gandawan
Alumni ITB, Mantan Aktivis Mahasiswa, Pemerhati Politik Nasional

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid