Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim penambahan utang bisa dikendalikan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira mengingatkan pemerintah untuk tidak mengobral infrastruktur kepada swasta. Ucapan ini dilontarkannya terkait rencana penjualan sejumlah jalan tol oleh pemerintah kepada pihak swasta.

“Karena kekurangan uang banyak infrastruktur yang sudah ada konsesinya mau dijual ke swasta,” ungkap Bhima dalam diskusi bertema ‘Peluang Resuffle di Ujung Pemerintahan’ di Jakarta Selatan, Kamis (23/11).

Menurut pria berusia 27 tahun ini, pemerintah harus mengutamakan dampak jangka panjang dari penjualan tersebut, bukan malah hanya berdasar pada hitungan bisnis belaka. Secara jangka panjang, Bhima khawatir jika nantinya penjualan jalan tol atau infrastruktur lainnya justru akan merugikan masyarakat Indonesia.

Sebab, dalam bisnis swasta, orientasinya adalah mengembalikan modal secepat mungkin. Jika demikian, hal tersebut hanya akan menimbulkan inflasi lantaran ekonomi Indonesia belum dapat dikatakan kuat.

Terlebih, regulasi yang mengatur penjualan jalan tol juga belum terlalu detail.

“Kalau yang diserahkan kepada swasta ada sekitar 30 persen dari Rp 4.100 triliun atau 245 proyek strategis nasional pemerintah menyerahkan kepada swasta, terutama yang komersil itu memang tidak masalah. Asal dia join dengan BUMN supaya ada kontrol,” paparnya.

Tak hanya jalan tol, hal yang sama pun berlaku infrastruktur lainnya yang bersifat operasional maupun komersil, seperti bandara. Seharusnya pemerintah mengatur skema kerja sama yang tidak memberatkan BUMN.

Nyatanya, selama ini justru BUMN lah yang justru mencari modal, bahkan tidak sedikit BUMN yang mengutang. Dalam pembangunan bandara di luar pulau Jawa misalnya, pemerintah menyediakan tanah, sedangkan swasta menyediakan modal dan membangun bandara tersebut.

“Kita harus bedakan yang bisa dikasih swasta dan strategis untuk BUMN. Terutama yang resiko tinggi oleh BUMN,” tegasnya.

“Saya kira perlunya untuk dilakukan dalam koridor tertentu yg strategis yang punya nilai ekonomis jangka panjang cukup besar. Kita kembali ke pasal 33,” tambah Bhima.

Bhima khawatir jika dibiarkan mengutang, banyak BUMN yang mengalami sakit dan kritis. Terlebih, masih ada beberapa anak perusahaan yang mencatat kerugian yang telah mengganggu induk perusahaannya, tetapi justru dibiarkan oleh pemerintah.

Belum lagi jika ditambahkan konsep holding BUMN yang belum jelas keuntungannya.

“Kondisinya BUMN mengalami kesakitan atau penurunan. Dengan skema holding ini terjadi privatisasi secara terselubung. Nanti ada penjualan anak usaha kepada swasta asing,” jelas Bhima seraya menyudahi.

Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan