Apalagi kemudian, kata dia, ketika harga minyak mentah duni masih belum terlalu rebound, harga minyak dunia (ICP) justru dinaikkan.

“Tak masalah memang kalau subsidi listrik itu ditambah. Tapi kan belakangan mengeluh beban tinggi, makanya subsidi 900 VA dicabut. Tapi kok ada Rp7 triliun lagi di APBNP,” kata dia.

“Jadi saya kacamatanya ini jadi politis. Makanya saya sebut APBNP 2017 pemerintahan Jokowi itu adanya politisasi anggaran atau anggaran yang dipolitisasi,” paparnya.

Bhima menyebut, sebaiknya pemerintah hati-hati dalam melaksanakan kebijakannya. Apalagi dalam kebijakan pencabutan subsidi listrik, dampaknya sangat mengganggu ke perekonomian nasional.

Tapi tetap penyabab paling tinggi dari daya beli adalah pencabutan subsidi listrik. Sejak Januari-Mei itu sangat terasa sekali dampaknya ke menggerus daya beli.

“Karena dampak terbesar dari pencabutan subsidi listrik adalah menggerus daya beli masyarakat yang akan terjadi sampai akhir tahun. Sekalipun dicabutnya hingga Mei saja,” kata dia.

Makanya, yang harus dipikirkan pemerintah, kata dia, ketika menyesuaikan tarif energi itu punya sensitivitas jangka panjang bukan hanya kepada konsumsi masyarakat tapi juga ke industri UKM.

“Bagi para UKM, setelah subsidi dicabut maka tarif listriknya jadi naik dan ongkos produksinya semakin mahal. Sudah pasti harga jualnya akan naik, sementara yang beli itu tak ada, karena daya beli anjlok,” jelasnya.

Untuk itu, pemerintah diminta harus hati-hati dan berpikir ulang ketika mau menaikkan tarif komponen energi. “Makanya jadi ngerih kan (kalau harga naik). Apalagi jika kemudian LPG juga jadi dinaikkan, atau subsidinya dicabut bakal lebih sengsara lagi masyarakat,” tegas Bhima.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka