Jakarta, Aktual.com – Pada 2017 nanti, pola belanja subsidi lebih banyak untuk sektor non energi, yaitu untuk subsidi pangan dan pupuk. Hal ini memang sudah mulai terjadi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

Kondisi ini dianggap cukup berisiko mengingat harga minyak di tahun depan akan mulai meningkat. Seiring adanya kebijakan pembatasan produksi dari negara-negara anggota OPEC.

“Jadi, sekalipun secara anggaran subsidi energi telah menurun drastis, namun ternyata masih menyimpan ancaman meningkatnya risiko terhadap daya beli masyarakat,” ujar Direktur INDEF, Enny Sri Hartati di Jakarta, Sabtu (10/12/2016).

Pasalnya, kata Enny, Indonesia merupakan negara ner importir BBM dengan volume impor yang terus membengkak.

“Artinya, jika terjadi perubahan nilai tukar dan harga minyak dunia, maka akan sangat sensitif terhadap harga BBM premium dan solar di dalam negeri,” jelas Enny.

Dengan kondisi tersebut, dia menegaskan, ketika terjadi shock (guncangan) harga, maka kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin akan langsung terkena imbasnya.

“Sekalipun pemerintah memberikan bantuan tunai kepada masyarakat miskin, namun nyatanya setiap terjadi kenaikan harga BBM, imbasnya angka kemiskinan pasti meningkat,” tegas dia.

Memang, sejak APBN 2014, terjadi perubahan signifikan terhadap alokasi belanja subsidi. Kebijakan harga BBM diperkenalkan untuk menyesuaikan harga minyak di pasar global, sehingga subsidi BBM mengalami penurunan yang signifikan.

“Dari yang semula Rp239 triliun pasa tahun 2014 menjadi hanya Rp32,3 trilun di APBN 2017 nanti. Juga subsidi listril dicabut, dari Rp102 triliun menjadi hanya Rp45 triliun,” beber Enny.

Menurut pemerintah, kata Enny, pengalihan pola subsidi ini lebih banyak untuk subsidi pangan dan pupuk. Untuk subsidi pangan, dari yang semula Rp18 triliun di 2014 memang naik sedikit menjadi Rp19 triliun. Sedang subsidi pupuk meningkat dari Rp21 triliun menjadi Rp31 triliun.

Namun sayangnya, kata dia, subsidi pangan dan pupuk juga tetap menyimpan masalah besar. Salah satunya, praktik subsidi pupuk sering tak tepat sasaran.

“Ternyata fakta di lapangan, kelangkaan pupuk bersubsidi masih terus terjadi, terutama pada saat musim tanam. Dan harga pupuk di tingkat petani selalu jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah,” papar Enny.

Kabarnya, pemerintah juga akan mengubah model subsidi dari subsidi berbasis barang menjadi subsidi berbasis orang atau kelompok tani penerima.

“Tapi tetap intinya, datanya itu harus akurat. Makanya, dalam setiap kebijakan subsidi, kualitas data menjadi faktor mutlak yang harus dipenuhi agar program subsidi tepat sasaran,” pungkas Enny.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs