Kasus kekerasan seksual yang terus terjadi di beberapa daerah membuat sejumlah aktivis perlindungan anak semakin gemas. Mereka berpendapat, selain hukuman yang lebih berat, aturan pelaksanaan bagi hukuman kebiri perlu segera dikeluarkan bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

Kasus belum lama yang menghebohkan adalah kasus perkosaan di Sorong, Papua Barat, pada 10 Januari 2017. Tiga pemuda memerkosa dan membunuh seorang anak perempuan berusia 10 tahun. Jasad korban ditemukan terkubur di dalam aliran sungai berisi lumpur di Kompleks Kokodo, Kota Sorong.

Menteri PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Yohana Yembise membuka kemungkinan para pelaku dikenai hukuman mati atau hukuman kebiri. Para pelaku di Sorong telah melakukan dua kejahatan, yakni kekerasan seksual dan pembunuhan. Jadi, mereka berpeluang mendapat pemberatan hukuman, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak yang baru.

UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak itu menyatakan, ada empat hukuman pemberatan. Yaitu: pidana mati, pidana kurungan seumur hidup, kebiri, dan pemasangan cip (alat pelacak). Namun, sejak UU itu disahkan, kasus kekerasan terhadap anak masih terus terjadi.

Yohana berharap, UU yang baru disetujui DPR itu bisa bisa segera disosialisasikan, dan diterapkan untuk kasus Sorong. Menghadapi tuntutan masyarakat, ia berjanji untuk mendampingi kasus itu, agar pelaku bisa dihukum seberat-beratnya. Bahkan, dikatakannya, ada masyarakat setempat yang minta agar kalau bisa “nyawa dibayar nyawa.”

Kalau dilihat dari beberapa vonis kasus kekerasan terhadap anak, memang memberi gambaran yang beragam. Ada hakim yang memberi vonis relatif ringan, tetapi ada juga yang sudah memberi vonis berat.

Pada 25 Agustus 2016, hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur menambah hukuman Sony Sandra, pemerkosa belasan gadis di bawah umur, menjadi 13 tahun penjara. Ia sebelumnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kota Kediri dengan hukuman 9 tahun penjara.

Sedangkan, pada 29 September 2016, Hakim Pengadilan Negeri Curup, Bengkulu, memvonis bersalah Zainal (23) dengan hukuman mati. Zainal didakwa sebagai otak pemerkosaan massal dan pembunuhan terhadap Yuyun (14), seorang siswi SMP di Bengkulu. Empat orang yang telah berusia dewasa dan pelaku pemerkosaan terhadap Yuyun juga divonis bersalah, dengan hukuman 20 tahun penjara. Kasus ini turut memicu pemerintah mengeluarkan Perppu Kebiri.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak seolah-olah menjadi fenomena gunung es. Kasus-kasus yang mencuat dan kemudian ditangani oleh aparat penegak hukum hanyalah puncaknya. Adapun kasus-kasus yang tidak dilaporkan bisa jadi jauh lebih banyak lagi. Kasus-kasus ini sudah masuk tahap darurat.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, belum ada dukungan maksimal dari pemerintah pusat dan daerah, dalam pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan secara nasional. Menurut Kepala Divisi Sosialisasi KPAI, Erlinda, korban semakin bertambah karena upaya yang dilakukan pemerintah belum maksimal.

Menurut Erlinda, banyak hal yang dapat dimaksimalkan dalam pencegahan terjadinya kejahatan seksual. Salah satunya adalah memaksimalkan peran orang tua. Erlinda beranggapan, banyak orang tua yang tidak memiliki keterampilan untuk melindungi anak di era globalisasi. Padahal, mereka adalah yang paling bertanggungjawab tentang keselamatan anaknya.

Yang lebih membuat miris, kasus pelecehan seksual terhadap anak banyak dilakukan oleh orang terdekat, bahkan tidak sedikit dari kalangan pendidik. Hal itu diungkapkan Sekretaris Komisi IV DPRD Kota Bekasi Daddi Kusradi pada 31 Januari 2017. “Kasus ini membutuhkan perhatian serius karena dapat merusak masa depan dan karakter anak,” tegasnya.

Peningkatan kekerasan seksual terhadap anak juga dipengaruhi oleh faktor teknologi atau gadget (gawai). Sebagian pelaku berawal dari coba-coba setelah menonton konten dewasa. Misalnya, kasus di Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Kasus ini diungkapkan oleh Mini, Kepala Seksi Perlindungan Khusus Anak, Dinas Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bekasi.

Ada seorang anak usia SD yang mempunyai telepon pintar, lalu diajari oleh temannya untuk membuka konten-konten dewasa. Lantaran penasaran, bocah usia SD ini pun mempraktikkan yang dia tonton itu kepada teman perempuannya. Buruknya pengawasan orang tua menjadi pemicu dalam kasus ini.

Angka kasus terhadap anak di kota Bekasi memang menunjukkan tren meningkat. Mulai dari 105 kasus (tahun 2014), 100 kasus (2015), lalu naik cepat menjadi 127 kasus (2016). Kasus paling banyak didominasi pelecehan seksual 42 kasus, penganiayaan/kekerasan fisik 31 kasus, persetubuhan 24 kasus, pengasuhan hak anak 13 kasus, dan pemerkosaan 11 kasus.

DPRD Bekasi tahun 2017 ini merencanakan pembahasan Peraturan Daerah (Perda) tentang Kota Layak Anak. Perda tersebut sudah masuk dalam 19 rancangan perda unggulan, yang menjadi prioritas di Kota Bekasi pada 2017. Namun, apakah dengan adanya perda ini akan mampu dan efektif meredam kekerasan seksual terhadap anak, masih harus kita lihat nanti. ***

Artikel ini ditulis oleh: