Irak adalah negeri Arab yang eksotis, sekaligus mungkin tidak banyak dimengerti oleh orang Indonesia. Membayangkan Irak adalah membayangkan negeri ajaib dengan kisah-kisah seribu satu malam yang sangat terkenal itu. Negeri dengan kekhalifahan yang megah, Aladin dengan lampu ajaibnya, karpet terbang, jin raksasa yang bisa mengabulkan semua keinginan kita, dan sebagainya. Pada puncak kejayaannya, kekhalifahan Islam dengan ibukotanya di Baghdad menghadirkan puncak kebudayaan, pada masa ketika Amerika masih berupa tanah liar, yang jauh dari kemajuan, dan Eropa masih dilanda zaman kegelapan.

Diperkirakan, jumlah semua penduduk Irak saat ini adalah 36 juta. Mayoritas 75-80 persen penduduk Irak adalah bangsa Arab. Kelompok etnis utama lainnya adalah Kurdi (15-20 persen), Asiria, Turkmen Irak dan lain-lain (5 persen), yang kebanyakan tinggal di utara dan timur laut negeri. Kelompok lainnya adalah orang Persia dan Armenia, kemungkinan mereka keturunan budaya Mesopotamia kuno.  Sekitar 25.000–60.000 orang Arab tinggal di daerah berawa di selatan Irak.

Bahasa Arab dan Kurdi adalah bahasa resmi. Bahasa Asiria dan Turkmen adalah bahasa resmi di daerah-daerah yang berturut-turut ditinggali oleh orang Asiria dan Turkmen. Bahasa Armenia dan Persia juga dituturkan, namun jarang. Bahasa Inggris adalah bahasa Barat yang umum dituturkan di Irak. Mayoritas agama yang dianut di Irak adalah Islam, sebesar 97 persen. Sedangkan penganut Kristen atau lainnya ada 3 persen.

Proporsi penganut agama di Irak, tidak ada angka resmi yang tersedia, terutama karena sifatnya yang sangat politis. Menurut sumber Ensiklopedia Britannica, penganut Muslim  Syiah 60, dan Sunni 40 persen. Sedangkan menurut sumber CIA World Fact Book: penganut Syiah 60-65 persen, dan Sunni 32-37 persen. Sebagian berpendapat bahwa Sensus Irak 2003 memperlihatkan bahwa orang-orang Sunni sedikit lebih banyak.

Penganut Syiah umumnya adalah orang Arab dengan sebagian Turkmen dan Kurdi Faili, dan hampir semuanya adalah pengikut Syiah aliran Dua Belas Imam. Sedangkan penganut Sunni terdiri dari orang Arab, Turkmen yang menganut Mazhab Hanafi, dan orang Kurdi yang memeluk Mazhab Syafi’i.

Etnis Assyria, kebanyakan daripadanya adalah pemeluk Gereja Katolik Khaldea dan Gereja Assyria di Timur, mewakili sebagian terbesar penduduk Kristen Irak yang cukup besar, bersama dengan orang Armenia. Pemeluk Bahá’í, Mandeanisme, Shabak, dan Yezidi juga ada. Kebanyakan orang Kurdi adalah pemeluk Muslim Sunni, meskipun kaum Kurdi Faili (Feyli) umumnya adalah Syiah.

Dalam milenium yang paling mutakhir, Irak telah dibagi menjadi lima daerah budaya: Kurdi di utara yang berpusat di Erbil, Arab Islam Sunni di wilayah tengah sekitar Baghdad, Arab Islam Syiah di selatan yang berpusat di Basra. Assyria, sekelompok orang Kristen, tinggal di berbagai kota di utara, dan Arab Rawa, sekelompok orang yang berpindah-pindah, tinggal di daerah berawa-rawa di sungai tengah.

Hal yang perlu dicatat khusus adalah hubungan antar-etnis dan antar-agama di Irak. Pemberitaan media Barat secara ekstensif menggambarkan betapa seram dan kerasnya konflik antara Muslim Sunni, Syiah, dan Kurdi, sehingga melahirkan kekerasan berdarah. Seolah-olah Irak sudah diambang keruntuhan besar, untuk pecah menjadi tiga negara, masing-masing dengan komunitas dan pendukungnya sendiri: Muslim Sunni, Syiah, dan Kurdi. Di tingkat elite politik, yang bertarung sengit berebut kekuasaan di pemerintahan dan parlemen, sengitnya konflik di antara mereka mungkin memang masih demikian.

Namun, jika kita melihat hubungan antar warga yang berbeda etnis dan agama di tingkat bawah, tingkat akar rumput, kita akan melihat gambaran yang berbeda. Perbedaan etnis dan agama bagi masyarakat bawah di Irak tampaknya tidak menjadi masalah serius. Rakyat Irak mewarisi peradaban kuno dengan tingkat kebudayaan tinggi yang luar biasa pada zamannya. Negeri Irak ini juga menjadi tempat kediaman dan tempat berseliwerannya orang dari berbagai etnis dan agama, sehingga orang Irak pada dasarnya tidak merasa asing atau canggung dengan keberagaman.

“Perbedaan kepercayaan dan pandangan agama antara Muslim Syiah dan Muslim Sunni tidak pernah menjadi masalah bagi warga Kurdi di Irak. Warga Kurdi bahkan ada yang beragama Kristen dan lain-lain, tetapi mereka hidup rukun satu sama lain,” kata Aram Rasyid Abdullah, warga Kurdi yang tinggal di Erbil, Kurdistan, kepada penulis.

Aram, yang pernah bekerja di Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia, bersama Saeful Anwar, asisten pribadi Dubes Safzen Noerdin, menjemput penulis ketika pesawat Emirates yang penulis tumpangi mendarat di bandara internasional Erbil, 19 Maret 2015. Aram sudah sering membantu tugas KBRI, sebelum akhirnya resmi diangkat menjadi staf lokal KBRI Baghdad.

Warga Kurdi yang berbeda-beda kepercayaan kini hidup terpisah dan tercerai berai di wilayah Suriah, Iran, Irak, dan Turki, serta beberapa wilayah lain. Meski jumlah orang Kurdi ada puluhan juta, mereka tidak memiliki negara sendiri. Nasib orang Kurdi mirip orang Palestina, yang kini masih berjuang melawan penjajahan Israel untuk bisa memiliki negara sendiri, sedangkan banyak warganya terpaksa tinggal di kamp pengungsian di berbagai negara tetangga atau diaspora.

Warga Kurdi memang memiliki rasa toleransi yang tinggi. Aram sendiri mengaku, ia sudah menikah dengan seorang perempuan Indonesia keturunan campuran Tionghoa-Betawi, yang masuk Islam dan bersedia dibawa oleh Aram untuk tinggal di Erbil. Aram banyak membantu KBRI Baghdad dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi para tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di wilayah Kurdistan.

Aram adalah nama yang umum di kalangan orang Kurdi dan ada banyak “Aram” di Erbil. “Namun karena banyak mengurusi orang Indonesia, itulah sebabnya saya populer dengan sebutan Aram Indunesi (Aram Indonesia) di kalangan petugas di sini,” ujar Aram dengan bangga.

Kembali ke soal hubungan antara Muslim Sunni dan Syiah, menurut para warga Irak kalangan bawah dan diplomat yang ditemui penulis, pertentangan Muslim Sunni dan Syiah di Irak sebetulnya lebih banyak merupakan komoditi dan kepentingan para elite politik. Jika dilihat pada kehidupan sehari-hari warga Sunni dan Syiah, mereka biasa hidup bertetangga dengan baik, tidak bermusuhan satu sama lain.

“Tetangga yang tinggal di kiri-kanan saya adalah orang Sunni, tetapi ya kami bertahun-tahun hidup bertetangga biasa saja. Kalau soal konflik yang diramaikan di media, itu soal politik, Pak,” ujar Muayad Abbood Abbas, warga Syiah Irak yang bekerja sebagai sopir KBRI Baghdad.

Maka, jika saat penulis menyusun buku ini di Indonesia ada “gerakan anti-Syiah” atau kalangan yang gencar mengkampanyekan Syiah dengan “kafir” atau “bukan Islam,” itu sesuatu yang asing bagi komunitas Muslim di Irak. Pertarungan antara elite politik Sunni dan Syiah di Irak adalah lebih merupakan pertarungan politik, bukan pertarungan agama. Maka bisa saja sebuah partai Syiah berkoalisi dengan partai Sunni, untuk mendongkel kekuasaan Perdana Menteri yang juga orang Syiah.

Para diplomat Indonesia –yang kebetulan penganut Sunni– memberi contoh, warga Sunni bisa sholat di masjid Syiah di Irak dan diterima baik. Tidak ada masalah. Sebaliknya orang Syiah juga bisa sholat di masjid Sunni, dan juga tidak dipersoalkan. Penulis sendiri yang bukan penganut Syiah sudah berkali-kali sholat di masjid-masjid Syiah di Irak, dan tidak menghadapi problem apapun. Warga Muslim Irak di dalam masjid biasanya tidak terlalu peduli dengan cara beribadah Muslim lain.

“Mungkin semula kita membayangkan, akan ada masalah. Soalnya orang Syiah kalau sholat kan menggunakan keping tanah dari Karbala untuk tempat sujud. Tetapi ketika mereka menggunakan ritual itu di masjid Sunni, saya lihat jamaah Sunni yang ada di masjid juga cuek saja. Artinya, hal itu tidak dipersoalkan,” ujar seorang diplomat.

Di KBRI Baghdad, jika diadakan ibadah sholat Jumat, terkadang Muayad Abbood Abbas yang penganut Syiah juga ikut sholat. Kalau ditanyakan, mengapa ikut sholat Jumat bersama staf KBRI Baghdad yang semuanya Sunni, dia malah tersinggung. “Memangnya kenapa?” tanyanya. Tetapi sebagaimana di Indonesia yang mengenal istilah “Islam KTP” (baca: Muslim Sunni yang tidak menjalankan ibadah sholat secara tertib dan berkelanjutan), di Irak juga tidak semua penganut Syiah rajin sholat.

Di lingkungan kerja KBRI Baghdad, misalnya, berbeda dengan Muayad Abbood Abbas yang masih sholat, ada orang lokal Syiah lain yang tidak pernah terlihat sholat. Maka untuk mereka mungkin bisa juga dibuat istilah “Syiah KTP.” Keanekaragaman Syiah semacam ini juga sering kurang dipahami oleh sejumlah kalangan di Indonesia yang getol mengkampanyekan “Syiah itu bukan Islam.”

Ada analisis yang menyatakan bahwa gencarnya isu pertentangan antara Muslim Sunni versus Syiah di Indonesia mungkin tak bisa dipisahkan dari persaingan antara Arab Saudi dan Iran, dalam memperebutkan pengaruh politik di kawasan Timur Tengah. Demikian dikatakan oleh seorang diplomat asing, yang kebetulan penganut Muslim Sunni, kepada penulis.

“Kita tahu bahwa persaingan pengaruh atau politik ini melibatkan aliran dana yang lumayan besar ke para pelaksana di bawah, yang akan mengeksekusi program-program titipan dari donatur,” tambah diplomat tersebut. Ia mengingatkan bahwa di Indonesia pernah ada aliran dana dari Libya untuk kelompok Muslim tertentu di Indonesia. Namun, sejak tewasnya pemimpin Libya Moammar Khadafi, aliran dana dari  Libya berhenti.

Sejumlah diplomat di Irak menyatakan keprihatinan terhadap isu-isu yang dianggap berpotensi memecah belah umat Islam di Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar, karena isu-isu sektarian serupa sudah menimbulkan kerusakan besar di negara-negara Muslim di Timur Tengah.

Pernikahan antara warga Muslim Syiah dan Sunni adalah juga hal yang biasa saja di Irak. Hal itu sudah berlangsung puluhan tahun, dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Bagi masyarakat awam di Irak, perbedaan Sunni dan Syiah tidak pernah menjadi isu serius. “Kalau dibandingkan dengan konteks Indonesia, pernikahan antara warga Sunni dan Syiah di Irak kira-kira sama dengan pernikahan antara warga Nahdlatul Ulama dengan warga Muhammadiyah, atau dengan warga Persis,” ujar Besus Hidayat Jati, staf di KBRI Baghdad yang menganut Sunni, dan lulusan jurusan teologi Universitas Al-Azhar, Mesir.

“Sesudah menikah, masing-masing ya tetap dengan kepercayaannya. Kalau mau jujur, warga Syiah di sini sebetulnya umumnya tidak sangat ketat dalam masalah agama, dan tidak terlalu peduli dengan isu-isu perbedaan agama. Ya, kalau ditempatkan dalam konteks Indonesia, Islam KTP-lah! ” tambahnya.

Saeful Anwar, Sekretaris Pribadi Dubes Safzen, punya cerita unik tentang hubungan Syiah-Sunni di Irak. “Kita sering membaca berita di koran, tentang pernikahan warga Sunni dan Syiah. Nah, pernah ada berita tentang terbunuhnya anggota parlemen yang Sunni. Lalu ada tokoh Sunni yang bersuara lantang. Ia bilang, akan membalas perbuatan ini seperti mereka (Syiah) lakukan terhadap Sunni.  Karena omong kerasnya, dia pun diusut. Ternyata istri tokoh Sunni ini adalah penganut Syiah!” jelas Saeful.

Saeful masih punya cerita lain. Suatu ketika, rombongan KBRI yang membawa delegasi dari Indonesia berkunjung ke Karbala dan Najaf, kota suci syiah di Irak selatan. Sesuai prosedur, rombongan Indonesia ini dikawal oleh protokol Kementerian Luar Negeri Irak. Di antara staf Kemlu Irak ini ada yang penganut Syiah, dan ada juga yang Sunni. Terus ketika tiba waktu sholat, para staf protokol Kemlu Irak ini sholat lebih dulu. Mereka mengantisipasi kesibukan, jika nanti harus mengantar rombongan KBRI ke mana-mana. Mereka sholat di satu ruangan. “Ada yang ritual sholatnya Syiah, ada juga yang ritualnya Sunni. Ternyata mereka akur tuh,” ujar Saeful sambil tertawa.

Dalam soal ibadah, hubungan warga Syiah dan Sunni tidak sekaku yang mungkin dibayangkan orang di Indonesia. Saeful, yang pengikut tarekat Qadiriyah dengan mempraktikkan ajaran Syekh Abdul Qadir Jaelani, menceritakan penghormatan orang Syiah terhadap tokoh sufi, yang penganut Sunni dan makamnya terdapat di Baghdad tersebut.

“Saya pernah sholat Jumat di masjid Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ternyata, ada tokoh Syiah terkemuka Moqtada Al-Sadr dan para pengikutnya yang hadir ikut sholat Jumat. Jadi dalam sholat Jumat itu hadir bersama warga Sunni dan warga Syiah. Saya perkirakan, 30 persen jamaah yang sholat di masjid Syekh waktu itu adalah penganut Syiah,” ungkap Saeful.

Dalam masalah pertarungan politik di parlemen dan pemerintahan Irak, isu Sunni dan Syiah ini sempat mengemuka. Namun, persaingan itu pun sebetulnya longgar. Buktinya, ada kelompok Syiah yang berkoalisi dengan kelompok Sunni, dan keduanya sama-sama menentang pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang Syiah. Sementara perpecahan dan persaingan di antara sesama kelompok Syiah sendiri juga cukup keras.

Begitu banyak aliran Muslim Syiah di Timur Tengah, bahkan beberapa di antara mereka saling bertentangan secara keras. Tak heran jika hal ini kadang-kadang membingungkan buat para pengamat, untuk menentukan yang mana dari sekian aliran itu yang betul-betul merepresentasikan Muslim Syiah. Demikian dinyatakan beberapa diplomat Indonesia sehabis KBRI Baghdad menerima kunjungan Direktur Lembaga Darul Quran, Syekh Hasan Mansouri. Syekh yang juga salah satu tokoh Syiah di Karbala ini melakukan kunjungan silaturahim ke Dubes Safzen Nourdin, pada 3 Maret 2015.

“Muslim Syiah yang benar adalah mereka yang mengikuti ajaran Imam Ali. Sedangkan Imam Ali mengatakan, beliau tidak menghendaki para pengikutnya menjadi tukang mencela dan mencaci. Termasuk di sini mencela dan mencaci para sahabat Nabi Muhammad SAW yang lain,” ujar Syekh Hasan Mansouri, menjawab pertanyaan penulis.

Syekh yang memimpin lembaga penghafal Al-Quran ini menyatakan, dalam menilai ajaran Muslim Syiah harus hati-hati memilah siapa yang jadi standar penilaian. Diakuinya, memang ada umat Syiah yang berbicara sumbang dan suka mencela sahabat Nabi. Namun tindakan mereka tidak sesuai dengan ajaran Imam Ali, atau Ali bin Abi Thalib dalam tradisi Muslim Sunni. Syekh Hasan Mansouri, yang pernah berkunjung ke Indonesia, berharap, “Yang dijadikan rujukan sebaiknya adalah ulama-ulama Syiah yang moderat, yang menjadi pembimbing masyarakat Syiah.”

Dalam upaya mewujudkan ukhuwah Islamiyah, Syekh Hasan Mansouri mengatakan, pihaknya menyelenggarakan berbagai kegiatan dakwah lewat hafalan Al-Quran, yang melibatkan kelompok-kelompok di luar Muslim Syiah. “Sejauh ini, pihak-pihak itu menerima kami dengan baik dan menghargai kami,” lanjutnya.

Sedangkan menurut Achmad Alatas, penerjemah bahasa Arab bersertifikat di KBRI Baghdad, penganut Syiah di Timur Tengah itu ada banyak sekali macamnya, dan hal ini tampaknya kurang dipahami di Indonesia. Karena kurangnya wawasan, semua penganut Syiah dipukul rata dan dianggap sama saja. Achmad, yang sudah berpengalaman berpindah-pindah tempat tugas di negara-negara Arab ini menyatakan, contoh keragaman Syiah adalah warga Houthi di Yaman.

Saat buku ini disusun, warga Houthi baru saja merebut kekuasaan di Yaman, negeri tetangga Arab Saudi. Mereka adalah penganut Syiah, tetapi cara mereka sholat tidak seperti Syiah di Irak, yang memakai kepingan tanah Karbala untuk tempat meletakkan dahi ketika sujud. Kalau melakukan adzan untuk sholat, mereka tidak menyebut “Ali Waliyullah.”  Mereka juga tetap menghormati Abubakar, Umar, dan Utsman sebagai para sahabat Nabi Muhammad SAW dan khalifah sebelum Ali. Jadi meski mereka penganut Syiah, tapi pandangan mereka dan cara beribadahnya sangat mirip Sunni.

Suku Houthi di Yaman adalah penganut Muslim Syiah dari sekte Zaidiyah. Aliran Zaidiyah sendiri muncul dari pengikut Syiah di abad ke-8. Sebutan Zaidiyah berasal dari nama Zaid ibn Ali, cucu Hussein ibn Ali bin Abi Thalib. Pengikut Syiah Zaidi memiliki pendekatan yang unik terhadap pemikiran Islam Syiah. Hukum Islam yang dianut Syiah Zaidi mirip mazhab Hanafi di kalangan Muslim Sunni. Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi yang beraliran Sunni, bahkan bersikap simpatik pada Syiah Zaidi dan pernah mendorong kalangan Muslim agar memberi sumbangan pada perjuangan mereka.

Berbeda dengan aliran Syiah lainnya, Syiah Zaidi tidak mempercayai doktrin bahwa seluruh imam-imam sesudah Imam Hussein suci dari dosa. Pengikut Syiah Zaidi juga tidak pernah mencerca Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, khalifah-khalifah pertama yang dihormati Muslim Sunni sebelum Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Dari seluruh aliran Syiah, Syiah Zaidi adalah yang paling moderat dan mirip dengan Sunni, baik dari segi doktrin ajaran maupun penafsiran hukum Islam.

Selain yang moderat, ada juga penganut Syiah yang ekstrem, Bahkan ada kelompok Syiah, seperti Syekh Mujtaba al-Shirazi, yang menganggap pimpinan Hizbullah –kelompok Muslim Syiah lain di Lebanon—sebagai kafir. Mujtaba al-Shirazi yang kini berbasis di London, Inggris, bahkan menyamakan pemimpin Syiah Iran, Ayatullah Ali Khamenei, dengan Yazid. Ini serangan yang sangat kasar, karena Yazid bin Muawiyah adalah khalifah yang memusuhi Hussein dan terlibat pembunuhan terhadap Hussein, putra Ali bin Abi Thalib dan cucu Nabi Muhammad SAW.

Kerukunan antara penganut Muslim Sunni dan Syiah di Irak bukan baru saja terjadi, tetapi sudah berlangsung lama. Bahkan di zaman pemerintahan Presiden Saddam Hussein, yang melakukan represi terhadap penganut Syiah, justru warga Sunni yang melindungi warga Syiah dalam melakukan ritual keagamaannya dari kejaran militer Saddam.

“Saddam Hussein ketika berkuasa melarang semua perayaan hari keagamaan Syiah. Warga Syiah di Baghdad dilarang berziarah ke Karbala, kota suci Syiah. Yang ketahuan melanggar akan langsung ditembak mati oleh aparat Saddam. Saddam juga menempatkan suku-suku Sunni yang disuruh tinggal di sekitar kota Baghdad, sehingga Saddam merasa aman,” ujar Achmad Alatas.

Namun warga Syiah di Baghdad secara diam-diam, dengan berjalan kaki lewat jalan-jalan kampung dan menghindari jalan raya, tetap berusaha berangkat ke Karbala, yang terletak ratusan kilometer di selatan Baghdad. Dalam perjalanan jauh dengan jalan kaki itulah, warga Syiah harus lewat, mampir, bahkan menginap dan bermalam di kampung-kampung warga Sunni. Warga Sunni mengetahui hal ini, tetapi justru merekalah yang melindungi dan menyelamatkan warga Syiah dari kejaran aparat keamanan.

“Bahkan Walikota Karbala yang penganut Sunni, waktu itu berani menentang perintah Saddam, dengan membiarkan warga Syiah yang ditemuinya untuk berziarah dan melakukan ritual keagamaan di Karbala. Itulah sebabnya, ketika Saddam Hussein jatuh dan mantan walikota itu mau dihukum mati karena dianggap pejabatnya Saddam, justru warga Syiah Karbala yang memohon pada pemerintah agar mantan walikota Sunni itu dibebaskan dari hukuman mati. Hal-hal semacam inilah yang umat Islam di Indonesia, yang kini ribut soal konflik Sunni-Syiah, tidak banyak tahu,” tutur Alatas.

(Sumber: Buku “Hari-hari Rawan di Irak” karya Dr. Satrio Arismunandar)

Artikel ini ditulis oleh: