Kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dianggap tak mampu untuk menggenjot pertumbuhan dengan mengandalkan belanja pemerintah. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan mengaku tak terima dengan tulisan dari Edy Mulyadi dengan judul ‘Harta Cuma Rp2.188 Triliun, Utang Rp 3.780 Triliun.’

Menurut Nufransa Wira Sakti, Kabiro Humas Kemenkeu, tulisan Edy dianggap menyesatkan dan menandakan pemahaman minimal dari sang penulis mengenai persoalan neraca keuangan, dan bahkan ketidakpahaman prinsip akuntasi yang sangat dasar.

“Seorang direktur program untuk studi demokrasi dan ekonomi (CEDes) yang tidak paham neraca dan akuntansi tentu perlu dipertanyakan kualitas studi dari lembaganya,” kritik dia yang seakan merendahkan penulis, seperti dalam siaran yang diterima di Jakarta, Rabu (6/9).

Dia mengklaim, seperti yang selalu diingatkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati, APBN adalah milik rakyat, sadar dan paham APBN adalah penting bagi peningkatan kualitas demokrasi dan akuntabilitas publik.

Sehingga, kata dia, pernyataan bahwa jumlah harta negara Indonesia yang hanya Rp2.188 triliun dan lebih kecil dibandingkan utangnya Rp3.780 triliun, disebutnya salah besar.

“Karena jumlah harta yang dikutip oleh penulis adalah nilai Barang Milik Negara (BMN) yang sebesar Rp2.188 triliun. Dan BMN itu salah satu aset tetap yang merupakan salah satu jenis aset dalam Neraca Pemerintah. Nilai BMN itu dicatat dengan penilaian yang dilakukan pada 2007, jika penilaian BMN itu diperbaharui dengan nilai saat ini, maka pasti nilainya jauh lebih besar,” klaim dia.

Makanya, kata dia, pemerintah melalui Direktorat Jendral Kekayaan Negara melaksanakan program revaluasi BMN untuk mendapatkan nilai terkini.

“Jadi berapa nilai aset negara keseluruhan? Saudara Edy perlu melihat total aset dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016. Dalam LKPP tersebut, aset atau harta negara, meminjam istilah Sdr Edy, adalah sebesar Rp5.456,88 triliun,” kata dia.

Jadi aset Pemerintah itu tak cuma BMN, tapi juga aset yang meliputi Aset Lancar (seperti Kas, Piutang Jangka Pendek dan Persediaan), Investasi Jangka Panjang (seperti Penyertaan Modal Negara/PMN), Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang, dan Aset Lainnya.

“Perlu dipahami bahwa aset sebesar Rp5.456,88 triliun adalah aset yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Pusat saja. Nilai tersebut tidak termasuk aset yang dikuasai/dimiliki oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp2.259 triliun,” klaim dia.

Aset Pemerintah pusat diatas juga tidak termasuk kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara ini.

Hal lain yang menyesatkan, kata dia, adalah membandingkan utang dengan aset, khususnya aset negara.

“Karena utang itu kewajiban masa depan seharusnya diperbandingkan dengan potensi kedepan dari suatu negara dalam menghasilkan nilai tambah ekonomi yang digambarkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dan tingkat pertumbuhannya,” katanya.

Sehingga, kewajiban pelunasan utang masa depan ditunjukkan oleh potensi menghasilkan pendapatan yaitu penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak termasuk dari pemanfaatan aset.

“Jika membandingkan utang dengan PDB, sampai dengan akhir 2016 rasio utang per PDB kita sebesar 28,3% yang masih jauh dari batas maksimum berdasarkan UU N0. 17 tahun 2013 tentang Keuangan Negara sebesar 60%,” klaim dia.

Dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp12.407 triliun dan pertumbuhan tiap tahun di atas 5 persen, maka dia mengklaim ekonomi Indonesia mampu menutup lebih dari 3 kali lipat dari jumlah utang.

“Utang yang dilakukan saat ini merupakan keputusan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama generasi muda. Ini untuk memperbaiki produktivitas dan daya saing Indonesia, sehingga negara mampu mewariskan aset-aset produktif, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa,” lagi-lagi dia mengklaim.

(Reporter: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka