Tak ada yang meragukan kemampuan diplomasi HajiĀ  Agus Salim. Seorang Ulama besar sekaligus Negarawan dan Diplomat pertama yang pernah dimiliki oleh Bumi Pertiwi.

Sulit rasanya hari ini menemukan sosok diplomat senior yang sekaligus seorang Ulama yang mampu menguasai sembilan bahasa seperti Agus Salim ini. Kemampuan berdiplomasinya antara lain mampu bercakap dengan Bahasa Arab, Belanda, Melayu, Perancis, Inggris dll.

Uniknya Agus Salim ini semasa penjajahan Belanda, ia tidak pernah ditangkap oleh Belanda. Namun Justru setelah Indonesia merdeka ia beberapa kali diasingkan bersama dengan pemimpin nasional lainnya.

Mengapa Belanda tidak menangkapnya? Salah satu kemungkinan, lantaran gaya bahasa Agus Salim yang kritis dan tajam tetapi disampaikan secara halus dan cerdas.

Selain seni berdiplomasi, Ulama yang satu ini juga seorang Jurnalis pengelola surat kabar dan sangat produktif dalam menulis.

Di harian Fadjar Asia, 29 November 1927 Agus Salim pernah menulis tentang polisi dan rakyat:

“Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut “pengakuan” di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa.”

Uniknya KH Agus Salim mampu menguasai sembilan bahasa secara otodidak. Jef Last, wartawan dan aktivis sosialis Belanda pernah bertanya, mengapa putra Agus Salim (Islam Salim) begitu fasih berbahasa Inggris, padahal ia tidak belajar di sekolah? Agus Salim dengan enteng menjawab, “Apakah Anda pernah mendengar tentang sekolah tempat kuda belajar meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya, meringkik dalam bahasa Inggris dan putra saya Islam juga meringkik dalam bahasa Inggris

 

Memasuki era Perang Pasifik di Asia Timur Raya, terjadi perubahan besar di Hindia Belanda, termasuk kiprah para tokoh penting di balik perang diplomasi Belanda vs Indonesia. Disinilah peran Diplomasi Agus Salim mulai menonjol sebagai Diplomat yang mewakili Indonesia berdiplomasi baik dengan Negara lain maupun dengan Pemerintah Belanda.

Memasuki era kekalahan Belanda atas Jepang, tahun 1941 Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Van Mook, seorang indolog dan ahli politik, ekonomi kelahiran Semarang yang sangat memahami Indonesia di angkat sebagai Diplomat wakil dari Pemerintah Belanda untuk Indonesia

Tak tanggung-tanggung Pemerintah Belanda juga mengutus Van Der Plas, mantan gubernur Jawa Timur tahun 1920 yang merupakan seorang intelijen dan politikus yang ahli dalam bidang adu domba agar membantu Van Mook menjadi wakil Pemerintah Hindia Belanda untuk berdiplomasi dengan Tokoh-tokoh Pergerakan Nasional Indonesia.

Van Der Plas dikenal ahli dalam urusan memecah belah persatuan negeri ini. Van Der Plas inilah tokoh di balik negara-negara boneka, semacam negara pasundan, sumatera, Indonesia timur.

Meski yang dihadapinya adalah orang-orang ahli dalam bidang ketatanegaraan dan Intelijen namun tak menggoyahkan Ulama KH Agus Salim dalam mengemban misinya mewakili Indonesia dalam berbagai perundingan mengahadapi Belanda.

Tampak dalam foto, Agus Salim meskipun dengan penampilannya yang sangat bersahaja memakai peci dan sarung namun tampak tak gentar sedikitpun menghadap Gubernur Jenderal Van Mook berdiplomasi mewakili Indonesia.

Banyak kisah-kisah inspiratif dialog diplomasinya yang hingga hari ini masih terasa hangat bila kita mau membuka catatan sejarah para tokoh Ulama pejuang bangsa ini.

Abu Bakar Bamuzaham dan Hendrajit.