Lombok, Aktual.com – Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ketinggian 3726 meter di atas permukaan laut, dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat sebagai tempat bersemayam para dewa.

Terlepas dari legenda tersebut, keberadaan gunung api aktif yang merupakan gunung tertinggi kedua di Indonesia setelah Gunung Kerinci di Sumatera Barat dan Jambi dengan ketinggian 3.805 mdpl ini, sejatinya memberikan berkah bagi masyarakat Pulau Lombok.

Keberadaan Gunung Rinjani memberikan peluang berusaha di sektor jasa pendakian bagi ribuan orang. Ada yang menjadi pengangkut barang (porter) dan pemandu wisata. Aktivitas tersebut juga mampu menggerakkan perekonomian warga desa di kaki gunung.

Tidak hanya dari sektor pariwisata. Gunung Rinjani juga menjadi tempat masyarakat di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani mengais rezeki. Mereka banyak memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Gunung Rinjani yang ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.280/Kpts-II/1997, ditumbuhi berbagai jenis HHBK berupa flora. Beberapa di antaranya diperbolehkan untuk dimanfaatkan, seperti rumput, pakis, dan jenis lainnya.

Dari sekian jenis flora yang ada di kawasan konservasi tersebut, satu di antaranya ternyata memiliki nilai ekonomi tinggi, karena harganya cukup mahal. Tumbuhan tersebut adalah jenis jamur bernama “morels” (marchella spp).

Jamur yang tergolong hanya bisa tumbuh di daerah tropis tertentu itu pertama kali ditemukan oleh Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah I Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Teguh Rianto.

Penemuan jenis jamur termahal kedua di dunia tersebut hanya secara kebetulan ketika melakukan patroli di dalam kawasan taman nasional pada 2009.

Oleh karena tergolong jamur bernilai ekonomi tinggi, Teguh Rianto kemudian menjadikannya sebagai bahan penelitian tesis untuk menyelesaikan program pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hasil penelitian tersebut kemudian dilaporkan untuk ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan penelitian lanjutan.

BTNGR ketika kepalanya masih dijabat R. Agus Budi Santosa berkoordinasi dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (P3H) Bogor, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Penelitian lanjutan pun dilakukan oleh Tim Riset Morel Rinjani yang berjumlah enam orang. Seluruhnya dari P3H Bogor, yakni Dr Maman Turjaman, Dr Asep Hidayat, Sarah A Faulina, Najmullah, Aryanto, dan Sira Silaban.

Penelitian dibiayai oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK, melalui BTNGR.

Proses penelitian dimulai dari eksplorasi lapangan pada Mei-Agustus 2017, sambil melakukan isolasi dengan cara memasukkan spora ke dalam media tumbuh jamur.

Media tersebut terbuat dari agar yang di dalamnya terdapat makanan, nitrogen, karbohidrat dalam bentuk gula untuk energi jamur tumbuh. Ada juga vitamin serta antibiotik untuk mencegah berkembangnya bakteri.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemurnian di laboratorium untuk menghasilkan DNA. Proses pemurnian dilakukan dengan cara memisahkan spora yang tumbuh dan yang terkontaminasi. Spora yang tumbuh kemudian dilihat menggunakan mikroskop untuk mengetahui jenis dan warnanya.

Setelah melalui proses tersebut, tim peneliti kemudian mengirim sekitar 45 sampel DNA ke “First Base Sequencing Service” yang berbasis di Singapura.

Perusahaan itu diminta untuk membantu mengeksekuenser sampel DNA jamur “morels” yang diperoleh dari TNGR karena terkait dengan efisiensi biaya. P3H Bogor sebenarnya memiliki alat, namun kapasitas yang dibutuhkan minimal lebih dari seratusan sampel.

Setelah DNA diperoleh, Tim Riset Morel Rinjani kemudian melakukan pengecekan base jamur morchella di National Center For Biotechnology (NCBI). Dari hasil pengecekan tersebut, Tim P3H Bogor kemudian memberikan nama jamur “morel” Rinjani (morchella rassipes).

“‘Morel’ adalah jenis jamur termahal kedua di dunia, setelah jamur ‘truffles’. Makanya kami termotivasi untuk melakukan riset, meskipun pelaksanaannya pada 2017 atau delapan tahun setelah adanya penemuan di Gunung Rinjani,” ujarnya.

Riset Budi Daya Setelah berhasil memastikan bahwa Rinjani memiliki flora bernama jamur “morel” Rinjani, enam tim peneliti dari P3H Bogor masih belum merasa puas. Mereka tertantang untuk meriset teknologi budi daya.

Atas inisiatif dan perjuangan Kepala BTNGR yang ketika itu dijabat oleh R Agus Budi Santosa, proses penelitian teknologi budi daya terealisasi pada 2017 atau delapan tahun setelah ditemukannya jamur tersebut di dalam taman nasional.

P3H Bogor melakukan riset budi daya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), melalui BTNGR.

Lokasi riset di lakukan di dalam kawasan TNGR, tepatnya di Desa Senaru, yang merupakan salah satu jalur resmi pendakian di Kabupaten Lombok Utara.

“Riset tersebut bertujuan untuk memperoleh teknik budi daya jamur ‘morel’ Rinjani, baik secara in situ dan eks-situ,” kata Peneliti Utama P3H Bogor Dr Maman Turjaman, usai mengekspose hasil uji laboratorium jamur “morel” Rinjani, di kantor BTNGR, Senin (12/2).

Tim Peneliti P3H Bogor menyiapkan 1.000 media tanam yang dibawa dari Bogor. Seluruhnya akan ditanam di dalam kawasan taman nasional, namun pada lokasi-lokasi tertentu yang sesuai dengan syarat pertumbuhan atau di atas ketinggian 1.500 mdpl.

Uji coba budi daya sengaja dilakukan pada Februari atau masih dalam musim penghujan. Hal itu didasarkan pada hasil penelitian para pakar bahwa jamur dengan mahkota berbentuk batu karang itu tumbuh pada musim semi, yakni Maret-Juli.

Peneliti Madya P3H Bogor Asep Hidayat, menambahkan masa panen dari 1.000 media tanam belum bisa dipastikan. Namun perkiraan bisa memakan waktu selama tiga bulan dengan syarat pertumbuhan jamur tidak mengalami gangguan atau terserang hama dan penyakit.

Oleh sebab itu, hasil riset budi daya di alam terbuka tersebut akan sangat membantu arah penelitian selanjutnya, baik dari sisi media tumbuh dan formula yang bagus untuk menghasilkan jamur “morel” Rinjani berkualitas.

“Jika riset di alam terbuka ini berhasil, kami akan melakukan riset kembali di dalam ruangan tertutup. Biar kita tahu seperti apa pertumbuhannya. Jika nanti kedua pola budi daya tersebut berhasil, baru kami alih teknologi ke masyarakat agar dibudidayakan secara massal,” ucapnya.

Jamur “morels” sudah dibudidayakan secara massal di Eropa sejak seratusan tahun silam. Namun para peneliti terlebih dahulu melakukan riset sebelum menyebarkan teknologi budi daya kepada masyarakat luas.

Selain di Eropa, para peneliti jamur di Tiongkok juga melakukan riset tentang flora yang hanya bisa tumbuh di daerah tropis tersebut sejak 1980. Kemudian pada 1992, para peneliti di negeri Tirai Bambu itu menemukan formula untuk budi daya, namun untuk skala komersial mulai berkembang pada 2012.

Sejatinya, Gunung Rinjani tak hanya dikenal sebagai objek wisata pendakian yang ramai dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara, tetapi gunung api ini juga bisa dijadikan wisata penelitian.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: