Jakarta, Aktual.com – Ketua Umum DPP Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, menyatakan penundaan pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba oleh kejaksaan, sama dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati dan menyemarakkan sindikat narkoba.

“Bahwa dengan ditunda-tundanya eksekusi itu, sama saja dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati sudah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengendalikan bisnis narkoba dalam lembaga pemasyarakatan,” katanya di Jakarta, Selasa malam (27/2).

Dirinya mengaku tidak mengetahui mengapa kejaksaan belum melaksanaan eksekusi mati jilid IV, jika terkait grasi maka Granat meminta presiden untuk segera menolaknya. “Presiden sendiri sudah jelas mengatakan tidak akan ada grasi. Saya mendesak kepada presiden agar segera mengeluarkan penetapan penolakan grasi,” katanya.

Ia menambahkan MA untuk segera menurunkan berapa kalinya seseorang mengajukan PK. “Inikan kondisi bangsa ini darurat narkoba. Sekarang mestinya MA harus peka dong,” katanya.

“Karena apa dengan menunda-nunda itu, memberikan kesempatan atau pembiaran terhadap mereka,” katanya.

Darurat Narkoba Terkait penyelundupan berton-ton narkoba, ia mengaku sejak 10 tahun lalu sudah menyatakan Indonesia darurat narkoba. “Saya sebelum presiden menyatakan darurat narkoba, saya sejak 10 tahun lalu menyatakan Indonesia darurat narkoba. Sekarang dipertegas lagi oleh presiden,” katanya.

Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Jakarta, Azmi Syahputra, menilai maraknya penyelundupan narkoba ke Indonesia dampak sampingan eksekusi mati yang terlalu lama, sehingga tidak ada kepastian hukum.

“Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih fleksible,” katanya.

Azmi Syahputra menambahkan negara tidak boleh abai atau dalam posisi “kedap”, negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini. Di lain sisi, kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau pemroduksi narkoba ini belum maksimal dan efektif, saatnya hukuman yang maksimal berupa hukuman mati dan merampas kekayaannya jika perlu diterapkan tanpa tawar.

Pemerintah terutama penegak hukum harus tegas melindungi warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba.

Selanjutnya Azmi menegaskan untuk menangguhkan RKUHP spanjang mengenai klausula yang memberikan dispensasi bagi terpidana mati.

Dalam RKUHP , terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman 20 tahun.

“Ini menjadi celah bahaya, Indonesia akan jadi ladang bisnis segar bagi para pebisnis narkoba dengan ancaman hukuman seperti RKUHP ini sehingga pemerintah harus tegas karena kalau tidak Indonesia akan hancur dan generasi mudanya akan lemah sukanya halusinasi,” paparnya.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: