Ketua Umum Kosgoro 1957 Agung Laksono menyerahkan surat rekomendasi dukungan Kosgoro 1957 kepada Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebagai calon Ketum Partai Golkar di kantor Kosgoro 1957, Jakarta, Sabtu (2/12/2017). Organisasi pendiri Partai Golkar, Kosgoro 1957, resmi mendukung Airlangga Hartarto sebagai calon Ketua Umum Golkar menggantikan Setya Novanto, yang kini ditahan KPK. Hal ini diumumkan setelah diadakan Pleno PPK Kosgoro 1957. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com-Perbincangan penentuan Ketua DPR-RI pengganti Setya Novanto (SN) menyusul wacana pengunduran diri SN dari Ketua DPR-RI, mengemuka ke ruang publik. Berbagai pendapat dari berbagai kader Partai G (PG) bermunculan.

Bila kita seksama menyimak wacana tersebut, ada yang setuju terhadap usulan SN bahwa AS menggantikannya sebagai Ketua DPR-RI. Namun juga sangat jamak yang menolaknya.

Sikap setuju atau menolak usulan SN, dari aspek komunikasi politik, kita dapat melihat posisi politik dari masing-masing Kader PG tersebut terkait dengan turbulence yang sedang terjadi di internal PG. Dengan kata lain, posisi kepentingan politik para kader menentukan isi pesan komunikasi politik yang dilontarkan terkait dengan penentuan ketua DPR-RI penganti SN.

Terlepas dari posisi kepentingan politik para kader yang “berseberangan” tersebut, sejatinya penentukan Ketua DPR-RI penggnati SN bisa dilihat dari sudut gradasi legitimasi demokrasi, yang lebih mengedepankan kedaulatan ada di tangan rakyat. Oleh karena itu, perlu dipetakan gradasi legitimasi dari aspek demokrasi penentuan ketua DPR-RI pengganti SN.

Menurut saya, setidaknya ada lima tingkatan gradasi legitimasi demokrasi penentuan Ketua DPR-RI pengganti SN, dari rentang terkuat kuat hingga yang terlemah (buruk), sebagaimana diuraikan berikut ini.

Gradasi pertama atau tertinggi. Penentuan Ketua DPR-RI pengganti SN harus diserahkan kepada pemenang pemilu legislatif tahun 2014. Karena itu, sejatinya Ketua DPR-RI dari Kader PDI-P, sebagai pemenang pemilu legislatif 2014. Namun sayangnya dinamika politik saat itu sangat tinggi. Saat itu muncul dua kekuatan politik semacam “faksi” di DPR-RI yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Karena itu, memberikan jabatan ketua DPR-RI pengganti SN dari kader PDI-P harus melakukan perubahan UU. Tentu ini amat sulit dilakukan dalam waktu singkat.

Gradasi kedua, penentuan Ketua DPR-RI pengganti SN dari kader PG, berdasarkan hasil Munaslub PG, yang tampaknya akan dilakukan ke depan dalam waktu dekat. Penentuan Ketua DPR-RI ini masih lebih legitimate dibanding dengan penentuan selanjutnya di bawah ini.

Gradasi ketiga, penentuan Ketua DPR-RI pengganti SN dari Kader PG yang diputuskan oleh Ketum PG hasil munaslub yang kemungkinan segera diselenggarakan.

Dengan demikian, akan terjadi sinergi antara DPP PG, Fraksi PG dan Ketua DPR-RI dari Kader PG. Dengan gradasi ini dipastikan terjadi koordinasi dan komunikasi politik yang sangat produktif antara DPP PG, Fraksi PG dan Ketua DPR-RI dari Kader PG. Perjuangan politik PG pada setiap kerja-kerja politik di berbagai bidang dan medan politik menjadi optimal, termasuk merecover image dan elektabilitas partai ini.

Gradasi keempat, penentuan Ketua DPR-RI pengganti SN dari Kader PG ditentukan oleh PLT Ketum PG. Ini gradasi yang termasuk lemah karena dukungan politik dari internal PG kepada PLT “terpecah” dua, yaitu pro-status quo dan pro-perubahan. Sebab, legitimate politik dari internal PG terhadap keberadaan PLT sangat lemah.

Gradasi kelima, penentuan Ketua DPR-RI pengganti SN dari Kader PG ditentukan oleh SN sendiri. Penentuan ini sebagai gradasi terlemah dengan dua alasan. Pertama, setelah ditetapkan PLT, seharusnya pemegang mandat PTL lebih legitimate menentukan ketua DPR-RI pengganti SN daripada SN. Kedua, jika SN yang menentukan Ketua DPR-RI pengganti dirinya, sementara SN sendiri masih dalam tahanan KPK, maka ini menjadi catatan sejarah buruk bagi negeri ini bahwa Ketua DPR-RI ditentukan oleh seseorang yang diduga terlibat tindak pidana korupsi. Sangat tidak elok. Ini yang saya sebut sebagai gradasi terendah, atau terburuk.

Penulis : Emrus Sihombing
Direktur Eksekutif EmrusCorner

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs