Ilustrasi Peristiwa 10 Niovember di Surabaya (Foto: Istimewa)
Ilustrasi Peristiwa 10 Niovember di Surabaya (Foto: Istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Belajar dari sejarah pada masa revolusi fisik kita dulu (1945-1949), belum banyak yang tahu, apalagi generasi gadget dan smarthone sekarang, bahwa keputusan revolusioner untuk bersiap menyongsong kedatangan kembali Belanda di Indonesia melalui Perang Gerilya, diinspirasi oleh arek-arek Suroboyo ketika merebut persenjataan Jepang. Dan keberaniannya yang luar biasa melawan tentara Inggris yang bermaksud melucuti senjata para pemuda kota Surabaya. Yang kemudian bermuara pada apa yang kita kenal sekarang sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945.

Sebetulnya cikal bakal tentara rakyat Indonesia, justru dimulai dari Jawa Timur. Makanya tak heran, jika pergolakan baru akan menemukan format dan momentumnya, setelah Jawa Timur, dan khususnya Surabaya, bergolak.

Kenapa Surabaya pada 19 September 1945 para pemuda bangkit melakukan perlawanan terhadap bangsa asing, Jepang dan Belanda-Inggris, ketika dipicu oleh aksi sekelompok anak-anak blasteran Belanda-Indonesia bermaksud mengerek bendera tri warna di Surabaya?

Sebaliknya pada waktu yang sama, 19 September 1945, ketika ratusan ribu elemen masyarakat dan pemuda berkumpul di lapangan Ikada, Gambir, dengan patuh kembali pulang setelah diserukan oleh Presiden Sukarno?

Jawabannya sederhana saja. Karena arek-arek Suroboyo, sudah mengalami mutasi jiwa di sanubarinya. Sudah punya sebuah kesadaran baru, wawasan baru dan pandangan baru. Sehingga begitu dipantik oleh sebuah momentum, maka sejarah kemudian menjadi sebuah kondisi untuk melakukan suatu aksi pembebasan. Dengan demikian, aksi arek-arek Suroboyo pada saat itu, sejatinya bukan anarki atau amuk-amukan. Hal ini sepenuhnya merupakan aksi perlawanan bersenjata yang penuh perhitungan dan didukung persenjataan yang memadai berkat keberhasilannya merebut persenjataan dari tangan Jepang.

Sedangkan masyarakat Jakarta ketika itu, maupun para pemimpin di lingkaran ketentaraan maupun sipil, tentunya di luar Bung Karno dan Bung Hatta yang sudah tinggi jam terbang pengalaman politiknya sebagai perintis kemerdekaan sejak 1920-an, ternyata masih belum mengalami mutasi jiwa dalam sanubarinya. Masih kuat kecondongannya untuk berada di zona aman dan zona mapan. Sehingga kecondongannya untuk mempertahankan zona mapan dan zona nyaman itu, memancar dalam perangai masyarakatnya.

Di sinilah bukti nyata, betapa geopolitik sebagai persenyawaan antara lokasi geografis maupun karakter kolektif masyarakatnya, pada hakekatnya bukan mitos atau fiksi. Kesimpulan sementara, apa yang dilakukan arek-arek Suroboyo kala itu, sama sekali bukan anarki, bonek/bondo nekad atau amuk-amukan. Yang dilancarkan oleh para pemuda Surabaya itu merupakan perlawanan bersenjata yang sepenuhnya atas dasar kesadaran, penuh perhitunganm namun setiap saat siap berkorban. Melalui satu tekad: Merdeka atau Mati.

Membaca Jogja, Jakarta dan Jawa Timur

Mengapa perubahan sejarah harus dimujlai dari Jawa Timur? Kajian kawan-kawan di Global Future Institute sampai pada sebuah hipotesa: Bahwa ketika bangsa kita mengalami hiruk-pikuk dalam bidang ekonomi, politik dan keamanan, kerap dirintis dari Jogjakarta sebagai laboratorium politik.  Jakarta hanya etalase – sedangkan Jawa Timur merupakan barometer. “Sepertinya begitu pakem yang selama ini saya cermati.

Dengan kata lain, kegaduhan politik (dan keamanan) misalnya —yang terjadi di Jakarta— jika tanpa (kesuksesan) test case di Jogja, bukanlah hal yang perlu dirisaukan. Tidak akan meluas pada skala yang lebih besar. Demikian juga, kegagalan uji coba “skenario” di Jogja, niscaya meredup.

Artinya, skenario apapun yang digelar tak bakal meluas. Cuma jab-jab ringan. Sebaliknya, sukses di Jogja kemungkinan besar akan sukses dimanapun. Jogja adalah laborat politik.

Lalu Jawa Timur? Ia adalah barometer. Bergolak Jawa Timur maka keniscayaan adanya gejolak pada skala lebih besar. Inilah asumsi yang masih hidup dan berkembang di alam bawah sadar Ibu Pertiwi.

Sejarah revolusi arek-arek Suroboyo pada November 1945, yang bermuara pada apa yang sekarang kita kenal sebagai Hari Pahlawan, telah membuktikan kebenaran dari pakem tersebut.

Sekilas Geopolitik Jawa Timur

Ada statement Pakde Karwo —panggilan akrab Gubernur Jatim— yang menarik sekaligus mengagetkan, bahwa dikala geliat perekonomian hampir di semua daerah cenderung turun, perekonomian di Jawa Timur justru tumbuh dan naik. Artinya, bahwa dinamika sosial ekonomi masyarakat di Jawa Timur tidak terpengaruh akibat menurunnya ekonomi nasional bahkan perekonomian global yang cenderung melambat. Mereka mampu menggerakkan roda ekonomi di tengah lesunya perekonomian.

Dalam bidang politik dan keamanan pun demikian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa barometer stabilitas keamanan nasional ada di Jawa Timur. Artinya selama Jatim belum bergolak sesungguhnya stabilitas nasional masih relatif kondusif. Entah kenapa. Atau karena banyaknya pesantren dan pondok sehingga dianggap sebagai representasi Islam di Indonesia? Inilah bukti keadaan (circumstance evidence) yang saya jadikan landasan asumsi sementara guna menyatakan, kenapa Jawa itu tergantung Jawa Timur. Pertanyaan kini, “Jawa Timur tergantung daerah mana?”

Indonesia tergantung Jawa, dan Jawa tergantung Jawa Timur. Ujaran leluhur: ‘Indonesia tergantung Jawa’ sebenarnya lebih kepada selain jumlah penduduknya besar, juga Jawa sebagai pulau serba pusat. Tak boleh dipungkiri, ia dianggap sebagai pusat pemerintahan, pusatnya ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan banyak lagi “pusat-pusat” lainnya.

Semua mungkin memaklumi tanpa ada maksud menebar sentimen kedaerahan atau memicu ego sektoral, etnis, dsb. Sedangkan kalimat: “Jawa tergantung Jawa Timur” terkuak dalam dialog Gubernur Jatim dengan BEM se-Jatim, April 2015 di Wisma Grahadi, Surabaya. Maka pertanyaan Jawa Timur bergantung dari daerah mana, maka jawabannya adalah Madura.

Kenapa Madura? Nah kalau soal ini, baiknya nanti ditulis dalam topik yang berbeda.

Hendrajit

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit