Jakarta, Aktual.com — Ada banyak pertanyaan muncul ketika data “Panama Papers” muncul sebagai masalah geopolitik yang cukup serius.

Kalau Anda mengunjungi situs www.panamapapers.icij.org, ada banyak data dan tulisan yang bisa ditelan mentah-mentah. Namun, kalau kritis dan mengunyah sajian data dan tulisan di situs itu maka ada banyak pertanyaan mendasar yang bisa Anda terka dan rasakan. Bahkan bisa dijadikan bahan kritik.

Apa saja yang perlu dikritisi?

Pertama adalah soal data. Data yang berhasil “dicuri” dari perusahaan Law Firm Mossack Fonseca itu diklaim lebih besar dari data yang berhasil “dicuri” oleh Wikileaks.

Dari data itu bisa di-breakdown– jadi beberapa analisis yang sangat menarik. Di laman Panama Papers bahkan beberapa foto kepala negara, birokrat bahkan keluarga/kerabat pemimpin sebuah negara dijadikan “tersangka”. Termasuk negara sekelas Rusia dan China (entah mengapa negara sekelas Amerika Serikat atau Jepang tidak termasuk) .

Kalau jeli, data yang disajikan oleh the International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) itu bisa berbicara lain ketika disandingkan dengan beberapa data penting lainnya.

Coba bandingkan dengan data tahun 2012 lalu ketika sebuah lembaga non pemerintah (NGO) bernama Tax Justice Network mengeluarkan sebuah report penting dengan tajuk “The Price Offshore Revisited: New Estimates for ‘Missing’ Global Private Wealth, Income, Inequality and Lost Taxes”.

Berdasarkan riset serius yang diambil dari data IMF, Bank Dunia (World Bank), PBB, Bank for International Settlements (BIS) dan beberapa bank sentral beberapa negara ditemukan bahwa tak kurang dari USD21 sampai USD32 triliun diperkirakan ‘lenyap, tak terdeteksi dan untouchable’. Angka itu bukan hanya ulah dari satu perusahaan law firm asal Panama bernama Mossack Fonseca saja.

“A significant fraction of global private financial wealth– by our estimates, at least $21 to $32 trillion as of 2010 — has been invested virtually tax free through the world still expanding black hole of more than 80 offshore secrecy jurisdictions. We believe this range to be conservative…”, demikian report itu mengawali tulisannya.

Riset lain yang dilakukan Bloomberg juga bisa dijadikan bahan untuk membaca data Panama Papers. Beberapa saat lalu, Bloomberg secara mengejutkan menyajikan sebuah riset yang dikemas dalam sebuah tulisan bertajuk “The World’s Favorite New Tax Haven Is the United States”.

Tulisan singkat Bloomberg itu cukup mengagetkan. ”By resisting new global disclosure standards, the U.S. is creating a hot new market, becoming the go-to place to stash foreign wealth. Everyone from London lawyers to Swiss trust companies is getting in on the act, helping the world’s rich move accounts from places like the Bahamas and the British Virgin Islands to Nevada, Wyoming, and South Dakota”. Demikian salah satu cuplikan tulisan itu.

Dalam tulisan itu juga Bloomberg menulis seperti ini: “Rothschild, the centuries-old European financial institution, has opened a trust company in Reno, Nev., a few blocks from the Harrah’s and Eldorado casinos. It is now moving the fortunes of wealthy foreign clients out of offshore havens such as Bermuda, subject to the new international disclosure requirements, and into Rothschild-run trusts in Nevada, which are exempt”.

Dan ada juga frasa penting di tulisan Bloomberg tersebut: “Last September (2015), at a law firm overlooking San Francisco Bay, Andrew Penney, a managing director at Rothschild & Co., gave a talk on how the world’s wealthy elite can avoid paying taxes…. Rothschild said the PowerPoint was subsequently revised before Penney delivered his presentation. The firm provided what it said was the final version of the talk, which this time excluded several potentially controversial passages. Among them: the U.S. being the ‘biggest tax haven in the world,’ the U.S.’s low appetite for enforcing other countries’ tax laws, and two references to “privacy” offered by the U.S”. Cukup mengagetkan bukan?

Dengan membandingkan data Panama Papers, dengan data Tax Justice Network dan data Bloomberg bisa ditarik sebuah pertanyaan hipotetik: Benarkah ada desain besar untuk menjadikan Amerika Serikat (Nevada) sebagai tempat kejahatan pajak dan pencucian uang global baru?

Yang kedua adalah soal mengapa sorotan tulisan di laman Panama Papers lebih banyak bicara soal Presiden Putin, Presiden Assad dan beberapa rezim pemerintahan yang dekat dengan Rusia (plus Assad). Termasuk China? Mengapa Amerika Serikat (atau Jepang atau Rothschilds dan George Soros misalnya) tak masuk dalam kajian tulisan itu? (Coba baca di: panamapapers.icij.org/the_power_players/)

Soal ini, laman geopolitics.co juga mempertanyakan hal tersebut. Dalam tulisan bertajuk “Panama Papers: The Anomalies” ditulis seperti ini: ”As observed earlier, the Panama Papers looked more like a poor propaganda retaliation against Putin and Assad than anything else, for the successful interruption to the Greater Israel plan of the Rothschilds”.

Salah satu alasan yang mendasari tulisan geopolitics.co tersebut adalah sebuah fakta bahwa proyek Panama Papers didanai langsung oleh beberapa pihak. Termasuk Rothschilds dan George Soros.

Sekadar informasi, beberapa saat lalu Prisiden Putin telah mengumumkan bahwa Rusia akan menangkap George Soros yang dianggap sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab atas krisis ekonomi Rusia pada 1990 lalu.

Yang ketiga adalah soal apa implikasi geopolitik Panama Papers? Dan apa implikasinya buat Indonesia?

Dari beberapa fakta dan data di balik kontroversi Panama Papers sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dijadikan early warning.

Kalau melihat tulisan dari majalah Fortune beberapa saat lalu, kondisi perekonomian AS setelah harga minyak global hancur cukup mengkhawatirkan. Fortune mengungkap fakta bahwa sekitar 30-an perusahan minyak dan gas besar di AS akan gulung tikar (bahkan sudah ada yang gulung tikar). Amerika Serikat (dan beberapa perusahaan minyak-gas dan bisnis jaringan bisnis Rothschilds) butuh dana yang cukup besar untuk menyelamatkan perekonomian dan bisnisnya.

Di tengah hancurnya perekonomian global kali ini, yang paling gampang dan cepat adalah menarik “dana aman” milik orang-orang kaya dunia (total sekitar USD21-32 triliun) yang saat ini di parkir di Bahama, Panama, Swiss atau tempat-tempat lain.

Dengan kata lain, Panama Papers adalah cara paling mudah untuk menggoyang tradisi menyimpan uang di tempat tempat tadi untuk segera dipindahkan ke AS. Uang sebesar USD32 triliun bukan jumlah yang kecil.

Tujuan lain dari Panama Papers adalah kemampuannya untuk mendestabilisasi sebuah negara. Terutama negara yang “dekat” atau “mulai dekat” dengan Rusia+China dan negara-negara yang tidak ingin ikut skenario besar AS dalam Trans Pacific Partnership.

Demo sekitar 30 ribu orang di Islandia saja mampu menggulingkan PM Islandia. Meski catatan PM Islandia di Panama Papers secara hukum masih perlu dibuktikan. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia. Namun demonstrasi yang terjadi di Malaysia itu belum mampu menggulingkan rezim yang saat ini berkuasa di Malaysia.

Soal ini, Indonesia yang saat ini lagi butuh dana besar untuk pembangunan infrastruktur sangat berharap sekali agar dana sekitar 2000-an orang kaya Indonesia yang parkir di luar negeri untuk masuk. Salah satu cara secara legal agar dana itu masuk adalah lewat UU Tax Amnesty yang saat ini masih dibahas di DPR.

UU Tax Amnesty adalah taruhan terakhir Jokowi agar program-program infrastruktur Jokowi berjalan lancar. Kalau gagal maka Jokowi harus mempertimbangkan (bahkan bisa dipaksa) lagi untuk nambah utang lagi ke IMF, World Bank dan China untuk menstabilkan posisi keuangan negara.

Panama Papers bisa jadi ganjalan besar Rezim Jokowi-JK untuk memuluskan UU Tax Amnesty di DPR. Kalau tidak hati-hati menangani isu Panam Papers, demonstrasi besar-besaran soal Panama Papers bisa terjadi juga di Indonesia.

Butuh kedewasaan dan kehati-hatian pemerintah dalam menyikapi isu Panama Papers ini karena banyak hal yang bisa terjadi gara-gara Panama Papers ini…

 

(Faizal Rizki Arief)