Jakarta, Aktual.com – Tulisan ini ingin mengklariflkasi banyaknya pendapat tentang hak yang dimiliki Freeport untuk memperoleh perpanjangan kontrak merupakan hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Bahkan seorang Guru Besar pun ikut-ikutan memberi pendapat bahwa pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali memperpanjang kontrak tersebut. Padahal, jika kita teliti dengan seksama, hak perpanjangan tersebut tidak otomatis dimiliki Freeport. Man’ kita perhatikan.

Pasal 31 Ayat 2 Kontrak Karya (KK) Freeport memang memberi kesempatan atau hak kepada Freeport untuk mengajukan perpanjangan kontrak. Namun pasal tersebut banyak di salah artika oleh berbagai pihak seolah-olah hak Freeport mengajukan perpanjangan 2×10 tahun tersebut otomatis harus disetujui Pemerintah RI. Padahal dalam pasal tersebut juga jelas dinyatakan bahwa diterima atau tidaknya usul tersebut masih tergantung pada persetujuan pemerintah, atau “subject to Government of Indonesia (GoI) approv ”. Artinya GoI bisa saja menerima, namun bisa pula menolak!

Kelanjutan dari kalimat tersebut adalah: “The 601 will not unreasonable withold or delay such approval”. Maksudnya GoI tidak bisa menahan atau menunda persetujuan tersebut tanpa alasan Berarti kalau ada alasan yang relevan dan kuat, tentu saja pemerintah dapat membicarakannya dengan Freepon. Dalam hal ini, kondisi Indonesia pada 1991 jelas sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Peraturan perundangan pertambangan sudah berubah, dan GoI harus melaksanakan peraturan tersebut. Pemberlakuan peraturan tersebut harus terlaksana secara adil dan merata kepada setiap perusahaan, termasuk PTFI.

Sesuai ketentuan dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, serta seluruh peraturan turunannya, diketahui adanya ketentuan-ketentuan tentang sistem KK yang berubah menjadi IUPK, keharusan pemurnian di dalam negeri, kewajiban divestasi 51%, batasan luas wilayah tambang, dan lain-lain. Ada pula UU PT yang mengatur Freeport (PTFI) harus tunduk pada UU PT dan aturan turunannya. Demikian pula dengan UU tentang lingkungan dan turunannya.

Dalam hal inj, PTF I harus tunduk dan tidak boleh menolak pemberlakuan seluruh ketentuan dalam berbagai UU tersebut. Pada saat yang sama, pemerintah pun harus melaksanakan pemberlakuan seluruh ketentuan tersebut terhadap PTFI.

Jika PTFI membawa masalah pemberlakuan berbagai ketentuan di atas ke arbitrase internasional, mestinya kita tidak perlu takut atau khawatir akan mengalami kekalahan. Hal ini karena di arbitrase pun yang dipakai sebagai acuan adalah peraturan perundangan RI. Bukan peraturan negara lain atau Amerika Serikat. Sidang-sidang arbitrase pun bisa dilaksanakan di luar negeri, atau bisa pula di Indonesia, tergantung kesepakatan bersama hakim arbiter. Ada 3 hakim arbitrer, yakni satu yang ditunjuk oleh GoI, satu ditunjuk oleh PTFI, dan satu lagi yang ditunjuk atas kesepakatan bersama.

Dengan kondisi demikian, mengapa kita harus dihantui rasa takut, dan merasa kalah sebelum bertanding? Jika terkait biaya, maka diperkirakan jumlahnya paling mahal USD 15 juta. Jumlah ini tergolong murah jika kita ingin menegakkan “kedaulatan” negara kita, yakni kedaulatan yang telah diperjuangkan oleh jutaan nyawa pahlawan kita di masa lalu. Jika kita menang dalam gugatan arbitrase, maka biaya yang dikeluaxkan tersebut akan kembali, dan ditambah pula dengan ganti rugi. Dalam hal ini kami sangat yakin kita pasti menang!

Masak PTFI memaksa GoI untuk tidak menjalankan UU yang berlaku di negara ini, lalu kita menerima begitu saja? Terlihat bahwa Gol telah kalah oleh gertakan Freeport, dan juga banyak pula oknum-oknum pribumi antek-antek asing yang ikut menakut-nakuti. Kemana arah sikap para ahli hukum kita? Jika diperlukan dan tampaknya sangat relevan, kita harus meng-hire pengacara dari luar negeri. Pada saat menjabat di Kementnan ESDM,’ kami telah menggugat PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase Internasional. Dan saat Itu kita menag! Mengapa sekarang kita menjadi Iemah dan tidak mempunyai nyali.

Kesimoulannya, sesuai ketentuan Pasal 31, KK Freeport tidak otomatis memperoleh perpanjangan kontrak hingga 2041. Jika Pemerintah Indonesia menolak dengan alasan yang wajar dan masuk akal, maka perpanjangan kontrak tidak akan diperoleh oleh Freeport. Faktanya kita memiliki sangat banyak alasan untuk menolak permohonan perpanjangan kontrak oleh Freeport. Sehingga harga saham divestasi yang harus kita bayar pun akan jauh lebih rendah dari yang telah disepakati saat ini.

Oleh : Dr. Simon Sembiring (Mantan Dirjen Minerba, Kementrian ESDM)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Dadangsah Dapunta