Ada fenomena baru dalam perkembangan kasus terorisme di Indonesia. Hal ini terungkap oleh polisi yang menangkap terduga teroris, sebelum sempat melaksanakan  aksinya. Fenomena baru yang patut dicermati itu adalah keterlibatan kaum perempuan, sebagai pelaksana aksi bom bunuh diri.

Hal itu diungkapkan Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris kepada media. Menurut Irfan, jaringan teroris kini menyasar kaum perempuan untuk dijadikan pelaku aksi bom bunuh diri. Tujuannya, untuk mengecoh aparat penegak hukum, karena polisi biasanya hanya mencurigai pelaku laki-laki. Sosok teroris di Indonesia selama ini selalu diidentikkan dengan laki-laki.

Alasan lain menggarap kaum perempuan untuk direkrut sebagai teroris, adalah karena perempuan dianggap lebih mudah dipengaruhi. “Terutama untuk kaum perempuan yang memiliki masalah dalam keluarga,” lanjut Irfan.

Perempuan bisa menjadi lebih militan, apalagi jika mereka merasa menjadi korban dalam konflik rumah tangga atau perceraian. Ketika sudah dicuci otak dengan pemahaman radikal, ia bisa menjadi militan dalam menjalankan misi yang diinstruksikan padanya.

Pada Sabtu, 10 Desember 2016, Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Dian Yulia Novi di rumah kosnya di Jalan Bintara Jaya, Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat. Perempuan yang kerap menggunakan cadar itu diduga akan melancarkan aksi bom bunuh diri dengan sasaran Istana Kepresidenan RI. Disita juga bom berdaya ledak tinggi seberat 3 kg. Bom yang akan digunakan oleh Dian adalah sejenis bom panci, dengan rice cooker.

Bom ini biasanya menggunakan panci bertekanan, berisi kombinasi material logam berukuran kecil, seperti paku dan mur, dengan bahan peledak. Material itu akan melesat dengan kecepatan tinggi saat tekanan di dalam panci meningkat. Daya ledaknya mampu merambat dengan kecepatan 30.000 km/jam. Polisi sudah menyimpulkan, Bahrun Naim –pentolan Mujahidin Indonesia Timur—sebagai otak teror ini.

Meski di Indonesia termasuk fenomena baru, pemanfaatan kaum perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri sudah bukan barang baru di luar negeri. Dua anak gadis yang masih berseragam sekolah, pada Jumat, 9 Desember 2016, menjadi pelaku bom bunuh diri di Nigeria. Bom itu menewaskan 30 orang dan melukai 57 orang lainnya di satu pasar kota Madagali, Nigeria kawasan timur laut.

Serangan bom terkoordinasi itu sangat mirip dengan serangan lain yang pernah dilakukan oleh kelompok ekstrem Boko Haram. Boko Haram selama beberapa tahun terakhir mengangkat senjata untuk menerapkan hukum Islam di kawasan timur laut Nigeria.

Pada tahun 1990-an, seorang perempuan Tamil meledakkan diri dengan bom yang di pasang di ikat pinggangnya. Bom itu meledak ketika si pelaku membungkuk di depan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi, seolah-olah mau memberi penghormatan pada PM India itu. Akibatnya, Rajiv tewas seketika. Saat itu gerilyawan LTTE (Macan Pembebasan Tamil Eelam) memang sedang marah besar kepada Rajiv Gandhi, yang mengirim pasukan India ke wilayah Sri Lanka, untuk membantu pemerintah Colombo meredam LTTE.

Di Indonesia, fenomena pemanfaatan kaum perempuan sebagai pelaku teror diperkirakan tidak akan berhenti dengan ditangkapnya Dian. Irfan berpendapat, perubahan pola rekrutmen pelaku bom bunuh diri itu harus diwaspadai, karena berpotensi dilakukan dalam jumlah besar. Beberapa tempat yang harus dicermati adalah kampus dan lingkungan perkantoran. “Mereka akan menyasar wanita muda yang mengalami kekecewaan,” ujar Irfan.

Pola rekrutmennya sama, yakni para perempuan itu dinikahi lalu dipengaruhi dengan ideologi radikal. “Jika sebelumnya perempuan ini hanya ikut pengajuan dan penyiapan logistik, sekarang dijadikan martir,” jelas Komisaris Besar Rikwanto, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri. Pola rekrutmen seperti itu berpotensi terus dilakukan oleh jaringan teroris di Indonesia, dengan lokasi perekrutan di berbagai tempat, seperti sekolah, kampus, dan pesantren.

Jumlah perempuan yang direkrut itu tampaknya cukup besar. Hal ini dibenarkan Ali Fauzi, mantan kombatan Afganistan, Moro, dan Ambon. Ali menyatakan, jumlah perempuan calon pelaku bom bunuh diri –yang siap menjalankan aksinya– kini ada puluhan orang. Maka, penangkapan Dian tidak menjamin aksi dengan pola baru itu akan berhenti, karena masih banyak calon pelaku yang siap.

Selain Dian, juga telah ditangkap Nur Solihin –suami Dian sekaligus pembuat bom- dan rekannya Agus Supriyadi, serta tiga rekan Solihin yang lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Diduga, mereka merupakan bagian dari jaringan teroris asal Indonesia yang berafiliasi dangan kelompok ekstrem ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Mereka dikomandoi oleh Bahrun Naim, pemimpin Khatibah Nusantara yang berbaiat pada ISIS. Berawal dari organisasi Jamaah Islamiyah, kini pelaku teror bertransformasi menjadi kelompok-kelompok kecil, yang jumlah anggotanya tak sampai 10 orang.

Kepolisian, Densus 88, dan BNPT akan terus berusaha meredam dan memotong jaringan teroris tersebut. Namun, upaya aparat keamanan tidak akan efektif dan meraih sukses optimal, jika berbagai unsur masyarakat tidak terlibat aktif dan tidak mendukung upaya aparat.

Masyarakat juga harus ditingkatkan ketahanannya, agar tidak mudah dipengaruhi propaganda ideologi radikal. Untuk itu, selain lewat pendekatan keamanan, masyarakat juga harus didekati dengan pendekatan kesejahteraan, guna mengikis bibit-bibit radikalisasi sebelum sempat berkembang. ***

 

Artikel ini ditulis oleh: