Jakarta, Aktual.com — Di bulan Oktober tahun 2013, salah satu pembangkang politik paling populer di dunia duduk untuk diwawancarai dengan jurnalis BBC dari Inggris, Mishal Husain.

Aung San Suu Kyi-pada saat itu-masih dalam proses transisi dari seorang tahanan politik penerima Nobel Perdamaian karena melawan pemerintahan junta militer Myanmar – ia ditahan di bawah tahanan rumah hingga tahun 2010 – pemimpin negara de facto. Setelah dibebaskan sebagai bagian dari sejarah negaranya, partai politiknya memenangkan jumlah kursi pada 2012 dalam pemilihan parlemen terbatas.

Selanjutnya, di bulan November 2015, partai politiknya kembali menang telak dalam pemilihan pertama negara itu dalam beberapa dekade. Sementara dia sendiri dilarang menjabat sebagai presiden, ia memilih bersekutu dekat dan secara luas dianggap sebagai ‘kekuatan’ sesungguhnya di balik pemerintah baru yang demokratis oleh dunia luar.

Pada Oktober 2013, nampaknya jelas bahwa Aung San Suu Kyi bergerak cepat dan menjadi tokoh kunci penting dalam politik negaranya. Untuk semua ‘kepahlawanan’- nya dalam memperjuangkan demokrasi di Myanmar, Aung San Suu Kyi selalu ‘buruk’ dalam masalah penanganan Muslim Myanmar, mengutuk kekerasan tetapi juga menolak untuk mengakui Muslim Myanmar berperan dalam pemerintahan Myanmar.

Dan, Suu Kyi terlihat begitu ‘buruk’ saat diwawancarai oleh jurnalis Muslim London, Mishal Husain, di mana Suu Kyi menjadi defensif, meremehkan krisis Muslim Mynmar, dan justru menyalahkan korban Muslim Myanmar.

Wawancara itu termuat dalam berita pada Jumat (25/03) lalu, ketika media Inggris (BBC) dan juga Amerika Serikat (Washington Post) melaporkan bahwa, dalam buku barunya tentang Aung San Suu Kyi, dia begitu marah dengan fokus wawancara terhadap penanganan Muslim Rohingya, yang selanjutnya Suu Kyi terdengar bergumam, menyuruh ajudannya, “Tidak ada yang pernah bilang saya akan diwawancarai oleh jurnalis Muslim Inggris. ”

Komentar tersebut diperlakukan sebagai bukti lebih lanjut bahwa Aung San Suu Kyi mungkin bukan ‘mercusuar’ harapan dunia, bahwa kelemahan ia pada krisis Muslim Rohingya, menjadi mengerikan dalam dirinya sendiri, dan dia berpikir tentang isu-isu penting dari keragaman dan toleransi agama yang bisa menyeretnya dalam isu HAM internasional.

Dalam budaya masyarakat Inggris atau Amerika, ‘penghinaan’ untuk diwawancarai oleh jurnalis beragama Islam seperti Reporter BBC, Mishal Husain, menyiratkan penerima nobel itu tidak suka dengan Islam. Hal itu bertolak belakang saat Suu Kyi diwawancarai jurnalis media asing dari agama non Islam.

Di Myanmar, dan di banyak negara di mana politik ‘sektarian’ yang lebih nyata dan dibahas secara lebih terbuka, itu adalah umum untuk mengasumsikan bahwa orang akan bertindak ‘ menolak’ sebagai anggota kelompok ‘etnoreligius’ mereka.

Aung San Suu Kyi dipertanyakan oleh banyak wartawan dunia yang mengidentifikasi jurnalis sebagai Muslim dan jelas Suu Kyi menganggap bahwa penting untuk mengetahui daftar pertanyaan dalam membahas isu Muslim di negaranya.

Aung San Suu Kyi ingin memimpin Myanmar tetapi tidak bersedia untuk berdiri membantu Muslim Rohingya yang menjadi warga negara Myanmar yang terzolimi.

Sekitar satu juta Muslim Myanmar, tidak dianggap sebagai warga negara Myanmar secara hukum di sana. (Dalam sesi pertanyaan reporter Muslim bertanya apakah di Yangon Suu Kyi akan membantu masalah Muslim Rohingnya?. Jawaban Suu Kyi adalah jelas tersirat bahwa dia tidak mau menolong Muslim Myanmar, masyarakat yang memilih Suu Kyi menjadi pemenang pemilu.). Suu Kyi juga menolak memberikan pelayanan sosial dan bantuan hukum kepada Muslim Myanmar.

Dan tahun 2013, banyak Muslim Myanmar menjadi korban pembunuhan massal dan relokasi paksa, yang mana sebagian Muslim di sana sering terlibat dengan pemerintah dan junta militer pejabat lokal yang mendorong kekerasan. Sekarang, banyak Muslim Myanmar tinggal di kamp-kamp atau meninggalkan negara tersebut sebagai pengungsi, dan Muslim Myanmar melakoni perjalanan berbahaya sekaligus mematikan.

Masyarakat Myanmar Anti-Rohingya suka melakukan kekerasan dan diskriminasi di negaranya, hingga sikap permusuhan Rohingya meresap dalam pemikiran masyarakat di sana. (Sementara, media Barat sering mencirikan ini sebagai murni tentang agama, dan banyak non Muslim-Rohingya di negara tersebut, dan mereka cenderung diperlakukan jauh lebih baik.)

Dalam perjalanan jurnalis BBC ke Myanmar, bahkan dalam pertemuan dengan aktivis di sana, hingga warga Myanmar berpendidikan demokrasi Barat – orang yang memiliki tahun-tahun kehidupannya untuk dikorbankan melawan rezim militer untuk hak-hak sipil – banyak jurnalis asing mendengar serta menggambarkan Muslim Rohingya sebagai orang asing tidak dapat dipercaya yang harus dikendalikan atau diusir untuk kebaikan bangsa Myanmar.

“Saya pikir itu termasuk dalam buku Suu Kyi, ke dalam ‘ambiguitas’ posisi Suu Kyi mengenai masalah Muslim Rohingya,” beber Peter Popham, di mana hasil laporan investigasinya diungkap ke publik dunia, mengatakan kepada Telegraph.

“Beberapa yang lain memiliki kekaguman besar untuk Suu Kyi dan kisah hidupnya dan keberaniannya, tapi tak seorang pun pernah percaya bahwa Suu Kyi adalah orang yang tanpa kesalahan dalam menangani kasus Muslim Rohingya.” (Sumber: Washington Post, BBC.co.Uk, Telegraph).

Artikel ini ditulis oleh: