Salamuddin Daeng

Jakarta, Aktual.com – Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan sejak pemerintahan Jokowi berkuasa pertumbuhan ekonomi langsung menurun menjadi 4,9 persen dari rata-rata 6 persen pada periode sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami stagnasi.

“Tahun 2016 ekonomi hanya tumbuh 5,02 persen dan tahun 2016 kwartal ketiga hanya tumbuh 5,06 persen dibandingkan kwartal yang sama tahun sebelumnya,” ujar Salamuddin dalam FGD “Melacak Angka Statistik Kesejahteraan Rakyat Dalam APBN 2018” di Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/11).

Selain itu, Ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas primer menyebabkan nilai ekspor kian merosot. Pada tahun 2014, nilai ekspor Indonesia sebesar 173,759 miliar dollar hanya tersisa sebesar 164,899.56 miliar dollar pada tahun 2017.

Industri dalam negeri pun melemah. Nilai impor di Indonesia pada tahun 2014 adalah 168,285 miliar dollar, menurun menjadi -128,215 miliar dollar dan diperkirakan hanya akan tersisa -144,683 miliar dollar pada tahun 2017.

Defisit transaksi berjalan terus berlanjut. Tahun 2015 sebesar 17,518 miliar dollar menjadi 16,790 miliar dollar pada tajun 2016 dan diperkirakan akan mencapai 15,840 miliar dollar.

“Jangan terkecoh dengan penurunan yang dalam USD dikarenakan nilai tukar rupiah terhadap USD terus merosot,” katanya.

Sementara, Utang Luar Negeri Pemerintah meningkat dari tahun ke tahun. Jika utang pemerintah dari luar negeri digabungkan dengan utang pemerintah dalam negeri maka saat ini nilainya mencapai Rp. 4.091 triliun lebih. Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK meningkat Rp. 1.238 triliun.

“Penimbunan utang semacam ini adalah pencapaian tertinggi dibandingkan pemerintahan manapun yang pernah berkuasa di Indonesia,” katanya.

Sementara, lanjut dia, setiap tahun pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp. 253.5 triliun, cicilan sebesar Rp. 65,5 triliun. Utang jatuh tempo sebesar Rp. 390 triliun.

“Jadi total kewajiban yang harus dibayar pemerintah adalah Rp. 709 triliun setiap tahun,” jelasnya.

Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh: