Menkeu Bambang Brodjonegoro (tengah), Menteri PPN/Bappenas Andrinof Chaniago (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/7). Dalam rapat tersebut Banggar DPR menyepakati laporan dan memberikan pengesahan hasil panitia kerja (panja) dalam rangka pembahasan pembicaraan pendahuluan penyusunan RAPBN 2016. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/15.

Jakarta, Aktual.com – Komisi XI DPR RI, merekomendasikan pemerintah membentuk “crisis center” untuk mengatasi kondisi perekonomian yang kini sedang tidak baik, dan mencegah kondisinya makin memburuk.

“Kami Komisi XI merekomendasikan dibuat ‘crisis center’ yang menyediakan matriks. Saya kira ini sangat penting,” kata Ketua Komisi XI DPR RI Fadel Muhammad dalam rapat kerja mengenai Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) APBN 2014 dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan dan Kementerian Keuangan di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (24/8) malam.

Fadel mengaku terganggu melihat kondisi perekonomian yang tidak baik.

Menurut dia, pemerintah belum menunjukkan langkah-langkah yang jelas untuk mengatasinya.

Untuk itu, dia meminta Menteri Keuangan, Menteri PPN, dan Menko Perekonomian, bersama membentuk “crisis center” yang menyediakan data-data dalam bentuk matriks untuk masyarakat agar mereka mengetahui dengan pasti kondisi perekonomian kini.

Menurut Fadel, cara itu ditempuh pemerintah masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan terbukti dapat membantu mengatasi perekonomian yang saat itu juga kurang baik.

Sementara itu, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kata dia, masih menunggu kebijakan pemerintah mengenai upaya mengatasi masalah ekonomi dengan cara “crisis center” itu.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah telah menyiapkan “crisis management protocol”. Akan tetapi, data-data yang terdapat di dalamnya tergolong rahasia.

Selain itu, dia mengatakan bahwa pemerintah terus mengikuti surat berharga BI serta menjaga surat berharga negara (SBN), misalnya dengan melakukan pembelian kembali (buy back) dan memperkuat cadangan devisa.

Menkeu menuturkan bahwa kondisi perekonomian kini berbeda dengan krisis ekonomi 1998 karena pertumbuhan masih positif, inflasi 7 persen (yoy) dan neraca perdagangan surplus meskipun impor turun drastis.

“Dari fundamental makro, cukup baik. Akan tetapi, tidak bisa dihindari global yang ‘chaotic’, AS memperketat, Tiongkok mendevaluasi. Kalau Tiongkok terus mendevaluasi dolar juga akan makin kuat,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: