Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.

“Begitu juga dengan dokumen pemeriksaan BAP, kami anggap dokumen pemeriksaan pro-justicia maka hanya bisa dibuka di persidangan. Kami tidak tahu alasan di balik DPR memaksa membuka itu. Jangan-jangan ini bukan untuk memperjelas proses penegakan hukum tapi memperkeruh proses penegakan hukum. Jangan sampai KPK mau membuka ini. Ini akan jadi modus berulang yaitu ancaman-ancaman yang bisa dibuat-buat,” tambah Zainal.

Zainal juga menilai bahwa usulan pengajuan hak angket tersebut berlebihan.

“Penggunakan hak angket itu agak berlebih. Hak penyelidikan kaitannya dengan kebijakan pemerintah jadi agak berbahaya menjalankan UU sebagai bentuk kewenangan pengawasan DPR karena tidak tertutup kemungkinan hakim bisa dipanggil oleh DPR. Hak angket penyelidikan yang ujungnya rekomendasi jadi kami agak bingung dalam penegakan hukum lalu ujungnya ada rekomendasi ke KPK, jangan-jangan DPR terlalu memperluas proses angket itu sendiri,” ungkap Zainal.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby