Jakarta, Aktual.com – Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPD-RI tentang Hak atas Tanah Adat (HATA) dibahas Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) bersama akademisi dan Pakar Hukum Universitas Andalas. Pembahasan dalam bentuk FGD menginventarisi materi RUU HATA yang berlangsung di Fakultas Hukum Unand, Padang, Jumat (24/11).

Paparan para akademisi dan praktisi hukum dalam FGD ini didengar langsung oleh 7 anggota DPD RI, yaitu, Nofi Candra, Dedi Iskandar Batubara, KH Syibli Sahabudin, Basri Salama, Aji Muhammad Mirza Wardana, Ahmad Subadri, dan Eni Sumarni.

Pakar Hukum Prof Yuliandri mengatakan RUU HATA sebagai bentuk pengakuan atas masyarakat hukum adat dengan segala hak yang mengikutinya. Menurutnya, tantangan dan perkembangan pembangunan, membawa konsekuensi terhadap keberadaan masyarakat dengan hak atas tanahnya.

“Sangat perlu pengaturan yang berkaitan dengan hak atas tanah terutama dalam lingkup ulayat,” kata Dekan FHUA periode 2010-2014 ini.

Narasumber lainnya, Dr Akmal menekankan, memisahkan orang atas tanahnya merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Makanya, kata dia, perlu yudivikasi dengan memperhatikan kearifan lokal.

Begitu juga dengan yang disampaikan Hendri Donald dt Rajo Bagonjong dari LKAAM Sumbar, yang lebih banyak mengulas tentang tanah ulayat di Minangkabau.

Dalam diskusi, hadir beberapa Pakar Hukum Unand, diantaranya, Prof Yuslim, Kurnia Warman, Ilhamdi taufik,  dari Kanwil Kemenkumham Sumbar, Biro Hukum Setda Sumbar, dan praktisi hukum. Mereka menelaah RUU hak atas tanah adat ini dari berbagai aspek. Intinya, RUU hak atas tanah adat ini harus lebih diperdalam lagi studi akademik dan draftnya. Sebab, dikhawatirkan, dari draft yang disampaikan PPUU, akan melemahkan posisi hukum adat sebagaimana yang telah kokoh diatur dalam UU Pokok Agraria.

“Dalam UU PA, posisi hukum adat sangat kuat dan menjadi acuan atau rujukan. Makanya, RUU ini perlu pembahasan lebih dalam lagi,” ujar Pakar Hukum Agrarian, Kurnia Warman.

Begitu juga disampaikan advokat, Roni Saputra, yang seharusnya diperkuat dalam undang-undang adalah masyarakat hukum adat. Sebab, tanah merupakan bagian kecil dari persoalan masyarakat hukum adat.

“Mestinya diperkuat dengan undang-undang tersebut, bagaimana Negara melihat posisi masyarakat hukum adat,” katanya.

Sementara itu, Pimpinan PPUU DPD-RI Nofi Candra, mengungkapkan, RUU HATA tersebut merupakan salah satu inisiasi dari DPD RI. Semangat ke-Nusantara-an menyebabkan mereka berpikir bahwa tanah adat di Indonesia memerlukan perlindungan. Dengan RUU ini, diharapkan bisa memberikan solusi bagi kasus sengketa lahan adat, sekaligus memperkuat tanah yang merupakan hak milik komunal masyarakat adat.

Dengan dilaksanakannya FGD di FH Unand ini kami memdapatkan banyak masukan dan merasakaan masih perlunya penyempurnaan Naskah Akademik dari RUU dan kami harapkan akademisi FH unand agar bisa Menjadi Tim Ahli dari Perumusan RUU HATA ini seperti usulan dari KH Syibli Sahabudin dari Sulbar.

“Semuanya akan kita bahas di DPD nanti. Terutama tentang penguatan masyarakat hukum adat yang disampaikan dalam diskusi tadi,” ungkap anggota DPD RI asal Sumbar tersebut.

Turut hadir dalam FGD tersebut, Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib Said Ismail, yang sangat mengharapkan adanya undang-undang terkait hak atas tanah adat.

“Di Kalimantan Tengah sudah ada Perda tentang tanah adat dan kelembagaan adat yang diperkuat lagi dengan Pergub hak tanah adat. Namun, keduanya belum kuat, harus ada undang-undang yang menguatkannya. Kalau tidak investasi bisa menjadi invasi terhadap tanah adat,” katanya.

 

Pewarta Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs