Logo DPD RI

Jakarta, Aktual.com – Upaya pengerdilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu dikhawatirkan akan menimbulkan merebaknya paham dan tindakan separatisme di berbagai daerah.

Pengerdilan DPD nantinya dapat membuat masyarakat menilai bahwa sistem demokrasi dan Pemilu yang ada di Indonesia, kurang memperhatikan perwakilan daerah yang ada di Jakarta sehingga nantinya konsep NKRI dianggap sebagai retorika belaka.

Kekhawatiran ini dilontarkan langsung oleh anggota anggota asal Sulawesi Barat, Muhammad Asri Anas dalam diskusi bertajuk ‘RUU Pemilu: Jangan Kerdilkan DPD’ yang diadakan di Jakarta, Jum’at (26/5).

“Masyarakat nanti bilang partai politik enggak serius nih, lebih baik kita bicara merdeka saja. (Karena parpol) sudah tidak mau memperkuat DPD,” ucapnya kepada Aktual usai diskusi tersebut.

Seperti yang diketahui, upaya pengerdilan DPD dalam RUU Pemilu ini terjadi dalam dua bentuk. Pertama, jumlah anggota DPD dalam setiap provinsi yang sebelumnya berjumlah empat orang, akan dikurangi menjadi dua orang saja.

Kedua, pemilihan DPD akan didahului oleh adanya uji patut dan kelayakan oleh panitia seleksi (pansel) yang nantinya dibentuk oleh DPRD tingkat provinsi.

Pria yang disapa Anas ini menuturkan bahwa upaya DPR dalam mengerdilkan DPD jelas akan mengurangi porsi perwakilan daerah di Jakarta. Belajar dari masa lalu, kemunculan aksi separatisme disebabkan oleh ketidak adilan dan kurangnya perhatian pemerintah pusat terhadap perkembangan daerah.

“Ini saya khawatir DPD tidak pernah serius dibicarakan lalu dikurangi jumlahnya. Itu kan menguragi aspirasi daerah dan mengurangi tokoh daerah. Bisa jadi masyarakat akan dorong saja kemerdaan daerah,” jelasnya.

Sebelumnya, lembaga DPD sudah diracuni oleh keberadaan para kader dan pengurus dari partai politik. Hal ini diawali disahkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Masuknya pengurus parpol sebagai anggota DPD juga telah melanggar UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan UUD 1945.

Sementara itu, di tempat yang sama, mantan Komisioner KPU RI, Hadar Nafis Gumay menyatakan bahwa tindakan DPR dalam konteks RUU Pemilu membuat sistem demokrasi di Indonesia menjadi semakin tidak jelas. Ia pun tidak kaget jika ada sekelompok masyarakat yang ingin memberlakukan sistem khilafah di Indonesia.

“Saya paham jika mungkin masyarakat memiliki pemikiran yang beragam, salah satunya ada yang ingin sistem khilafah,” ucapnya.

Hal ini dikarenakan adanya ketidak puasan masyarakat terhadap sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Ia pun menyarankan agar para wakil rakyat di Senayan mencari model yang pas untuk merealisasikan demokrasi Pancasila di Indonesia.

“Kita memang belum sempurna, bahkan sedang mengalami kemunduran, demokrasi yang belum ideal, makanya kita harus cari (sistem yang ideal). Mari kita cari bentuk demokrasi Pancasila yg tepat untuk kita,” pungkasnya.

(Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh: