KERJASAMA INDONESIA-VIETNAM

Kita ini sebagian besar, dari sejak dulu hingga kini, lebih digiring untuk anti komunisme ketimbang memahami apa itu komunis dan konusme. Dan apa bedanya sosialisme dan komunisme.

Soalnya adalah, komunis di indonesia tidak oernah berdiri sendiri dalam meniti kekuasaan. Selalu menggabungkan diri dengan gerak politik kalangan sosialis yang tersebar di berbagai partai. Ini justru masalah komunis lebih ruwet di negeri kita daripada di negeri lain.

Kalau negeri lain yang katanya komunis, seperti Vietnam, justru karena gerak politik komunis seakan independen dengan adanya partai komunis, malah kalangan nasionalis bisa menjinakkan watak komunisnya yang beraroma impor, justru di kandangnya sendiri. Itulah membuat kita salah baca komnunisme vietnam dan PKI itu sama. Padahal beda banget.

Di negeri-negeri yang seakan komunis kayak Vietnam dan Kuba, sebenarnya dari awal adalah sejarah keberhasilan elemen elemen nasionalis menjinakkan komunisme di kandangnya sendiri. Andaikatan Vietnam dan Kuba itu komunis asli, mungkin Amerika atau beberapa negara eropa dengan mudah mengalahkan Vietnam dan Kuba di era 1960-an dan 1970-an.

Sedangkan di Indonesia, justru kebalik. Karena dari awal kedatangannya ke Indonesia melalui dua orang belanda, Snevliet dan Bars, maka sejarah komunisme merupakan sejarah penyusupan dan penetrasi komunisme ke organ-organ non komiunis namun sangat kuat haluan sosialisme-nya seperti Sarikat Islam di bawah kepemimpinan HOS Cokroaminoto.

Pada waktu Indonesia merdeka pun sama juga. Ketika Sutan Sjahrir dan Amier Syarifuddin mendirikan Partai Rakyat, elemen elemen komunis dari berbaagai mahzab, menyelusup dan merembes ke dalam partai sosialis, sehingga komunisme menyelaraskan gerak politiknya kelompok-kelompok sosialis.

Sehingga yang seharusnya sosialisme dan komunisme dari awal jelas perbedaannya, malah jadi tumpang tindih dan kabur. Alhasil, ketika meletus Pemberontakan Madiun 1948, sebetulnya itu murni kemauan komunis untuk merebut kekuasaan. Atau didorong oleh frustrasi kaum sosialis yang saat itu tersingkir dari kekuasaan, menyusul tumbangnya pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan kali berikutnya, Amir Syarifuddin.

Di Vietnam dan Kuba, karena kuatnya kaum nasionalis yang berhaluan sosialisme dan yang punya akar dukungan kuat di semua lapisan masyarakat, komunis dipaksa jadi nasionalis.

 

Di kita, selain visi sosialismenya belum sevisi di kalangan penganutnya, dan bahkan sosialismenya kemudian sejatinya merupakan pendukung kapitalisme dan liberalisme terselubung, menyatunya komiunis dalam gerak politik kelompok-kelompok sosialis malah menimbulkan kerusakan. Bahkan, kombinasi dari ketidakjelasan sosialisme Indonesia dan belum terbentuknya infrastuktur yang kuat dan mengakar, yang terjadi justru bersatunya kepentingan kapitalisme/liberalisme dengan komunisme.

Itulah yang terjadi pada September 1965. AS dan Cina, secara diam-diam menjalin operasi senyap, menggulingkan Bung Karno. PKI dipompa ego dan fantasinya bahwa dengan merebut kekuasaan, revolusi komunisme akan berjaya. Bahkan Cina pun meskipun tahu bahwa gerakan Aidit dan Syam Kamaruzaman pada akhirnya akan menemui kegagalan, tetap didukung. Sebab mereka tahu, begitu gerakan PKI gagal, yang runtuh bukan saja PKI, tapi Bung Karno.

Di sinilah Titik temu AS dan Cina. AS dan Inggris memang sudah lama ingin Sukarno runtuh, karena presiden pertama RI ini punya kontra skema melawan kapitalisme global berbasis korporasi. Cina, berkepentinganntingan menjatuhkan Bung Karno, karena BK selain tidak bisa disetir ke arah komunisme, juga berbahaya sebagai pemimpin negara-negara berkembang. Sehingga dalam jangka panjang, Indonesia akan jadi orbit negara-negara berkembang, bukannya Cina.

Hikmah dari cerita ini, untuk menangkal komunisme tiada lain sosialisme ala Indonesia harus jelas. Infrastruktur politik pendukungnya harus kuat dan mengakar.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.