Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)
Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Penutup

Demokrasi yang sehat harus mengandung cita-cita kebudayaan; bahwa demokrasi bukan sekadar alat teknis belaka, tetapi juga suatu ekspresi pikiran, perasaan, dan kepercayaan sesuai dengan kepribadian dan cita-cita kekeluargaan-keadilan kebangsaan Indonesia; dengan cara mempertahankan nilai-nilai lama yang baik seraya mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Cita-cita kedaulatan rakyat (demokrasi) memiliki jangkar yang kuat dalam sejarah politik Indonesia. Stimulusnya bersumber dari tradisi musyawarah desa; semangat kesederajatan, persaudaraan dan permusyawaratan Islam; dan gagasan emansipasi dan sosial-demokrasi Barat. Semangatnya dikobarkan oleh kehendak untuk membebaskan diri dari represi politik dan ekonomi kolonialisme-kapitalisme serta tekanan tradisi feodalisme.

Dengan mempertimbangkan tradisi gotong-royong masyarakat Indonesia, watak multikultural kebangsaan Indonesia, dan pengalaman keterjajahan sebagai perpanjangan dari kapitalisme dan individualisme, para pendiri bangsa menggagas demokrasi yang sejalan dengan alam pikiran dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Yakni suatu demokrasi permusyawaratan yang menyediakan wahana bagi perwujudan semangat kekeluargaan dan keadilan sosial di bawah bimbingan hikmah-kebijaksanaan.

Di bawah semangat kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat itu mengadung cita-cita kerakyatan dan permusyawaratan. Dalam visi negara ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka ’musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh diktator mayoritas (mayorokrasi) atau tirani minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warganegara tanpa pandang bulu.

Di bawah orientasi etis hikmah-kebijaksanaan, demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; serta nilai-nilai persatuan (kekeluargaan) dan keadilan. Demokrasi yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan para penyelenggara negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Demokrasi yang berdasarkan nilai persatuan dan keadilan, dituntut untuk dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan” juga mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang materi yang dimusyawarahkan. Melalui hikmah itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami dan mengetahui apa yang dipikirkan rakyat untuk kemudian diambil keputusan yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik. Orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan” juga menyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan apa yang disebut sebagai ”kebajikan keberadaban” (the virtue of civility); yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

Untuk itu, segala kekuatan dalam masyarakat, tanpa pandang bulu, harus diberi akses ke dalam proses pengambilan keputusan. Wakil-wakil rakyat berdialog dengan pengetahuan dan kearifannya; bukan dengan kepentingan kelompoknya. Dengan bimbingan hikmah-kebijaksanaan, perilaku politik yang etis akan berkembang. Di lembaga perwakilan, wakil-wakil rakyat berdebat, bersikukuh dengan kebenaran pendapatnya namun dengan menjunjung etika politik dan semangat kekeluargaan. Rakyat pun akan melihat apa yang dilakukan wakil-wakilnya itu memang merepresentasikan kedaulatan rakyat, bukan memperalat rakyat untuk mencapai tujuannya. Dengan dimuliakannya aspirasi rakyat dalam proses demokrasi politik di lembaga perwakilan, rakyat juga dituntut untuk menjadi warganegara yang bijaksana, dengan kekuatan daya pikir yang dapat memahami hak dan kewajibannya, serta bertanggung jawab dalam menjalankan partisipasi politiknya.

Singkat kata, demokrasi berkebudayaan dan budaya berdemokrasi harus terus diperkuat agar demokrasi bisa diperdalam dan diperluas demi penyehatan institusi demokrasi dan pencapaian kesejahteraan rakyat.

(Selesai)