Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)
Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Demokrasi Berkebudayaan: Belajar dari Pengalaman

Gagasan “demokrasi permusyawaratan” berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk membuat apa yang disebut Putnam “making democracy work”, atau apa yang disebut Saward “mengakar” (to take root), dalam konteks keindonesiaan. Suatu model demokrasi dengan cita-cita kebudayaan berdasarkan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa Indonesia sendiri, sesuai dengan sifat-siat “tanah-air”, kondisi sosial, dan perjalanan sejarah bangsa.

Ibarat individu, pada hakekatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri. Pengertian “bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer, menyatakan bahwa, “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.” Dalam kaitan ini, Soekarno menandaskan, “Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya” (Soekarno, 1958)

Seturut dengan itu, demokrasi Indonesia juga harus dijalankan sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa. Dalam ungkapan Soekarno: “Demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari rakyat itu” (Soekarno, 1958).

Demokrasi dalam alam pikiran Indonesia bukan sekadar alat-teknis, melainkan juga cerminan alam kejiwaan, kepribadian dan cita-cita nasional. Dalam pandangan Soekarno, jika demokrasi sekadar alat teknis, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan nasional-sosialisme (fasisme), maupun diktatur proletariat; yakni, sekadar alat untuk mencapai bentuk masyarakat yang dicita-citakan, entah masyarakat kapitalistis, sosialistis, maupun yang lain. Bahkan, dengan mengutip pandangan seorang ahli sosiologi Karl Steuerman, Soekarno menyatakan bahwa “demokrasi, apalagi yang dikenal oleh kita dengan parlementaire democratie itu adalah ideologi dari suatu periode saja”. Parlementaire democratie adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik (Kapitalismus in Aufstieg); adapun fasisme adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang menurun (Kapitalismus in Niedergang)—sebagai usaha terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme.

Selanjutnya dia tegaskan: Tetapi di dalam cara pemikiran kita, atau lebih tegas lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan rakyat bukan sekadar alat saja. Kita berpikir dan berasa bukan sekadar hanya secara teknis, tetapi juga secara kejiwaaan, secara psikologis nasional, secara kekeluargaan. Di dalam alam pikiran dan perasaan yang demikian itu maka demokrasi dus, bagi kita bukan sekadar satu alat teknis saja, tetapi satu geloof, satu kepercayaan dalam usaha mencapai bentuk masyarakat sebagai yang kita cita-citakan. Bahkan dalam segala perbuatan-perbuatan kita yang mengenal hidup bersama, dalam istilah Jawa hidup bebrayan kita selalu hendak berdiri di atas dasar kekeluargaan, dasar musyawarah, demokrasi, yang kita namakan kedaulatan rakyat.

Karena demokrasi alam pemikiran Indonesia bukan sekadar alat teknis, melainkan juga mengandung jiwa pemikiran dan perasaan, maka perwujudan demokrasi itu hendaknya diletakkan di atas kepribadian bangsa Indonesia sendiri dan di atas cita-cita nasional mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Selanjutnya Soekarno menyatakan: Oleh karena itulah bagi kita bangsa Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat mempunyai corak nasional, satu corak kepribadian kita, satu corak yang dus tidak perlu sama dengan corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai alat teknis. Artinya, demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia, demokrasi yang disebutkan sebagai sila keempat itu adalah demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Tidak perlu ‘identik’ artinya sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa-bangsa lain.

Corak kepribadian Indonesia itu hingga taraf tertentu merupakan pantulan dari kebudayaan Indonesia. Menurut ekosistemnya, Hildred Geertz (1967) membagi corak kebudayaan Nusantara ke dalam tiga kategori: kebudayaan petani beririgasi, kebudayaan pantai, dan kebudayaan masyarakat paladang dan pemburu.

Kebudayaan pertanian beririgasi berkembang di wilayah yang disebut Clifford Geertz (1963) sebagai “Indonesia dalam”, yang meliputi Jawa dan Bali. Kebudayaan ini ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dengan menggunakan sistem pengairan dan sistem tanam padi di sawah yang bersifat padat karya di daerah yang paling padat penduduknya. Kebudayaan pertanian ini secara kuat dipengaruhi oleh Hinduisme dan juga mendapatkan stimulus dari peradaban China, kemudian mengembangkan kebudayaan “adiluhung” di sekitar keraton yang sangat berorientasi pada status. Kebudayaan ini mengalami pergeseran terutama sejak masuknya pengaruh Islam dan Barat-Kristen.

Kebudayaan pantai ditandai oleh kegiatan perdagangan yang secara kuat dipengaruhi oleh Islam. Kebudayaan tersebut tersebar di sepanjang pantai, terutama di wilayah “Indonesia luar”, seperti pantai Sumatra dan Kalimantan yang didukung oleh orang-orang Melayu dan pantai Sulawesi Selatan yang didukung oleh orang-orang Bugis-Makassar. Kebudayaan ini berorientasi pada perdagangan yang bersifat kosmopolitan, mengutamakan pengajaran dan hukum Islam, dan mengembangkan tarian, musik dan kesusasteraan sebagai unsur pemersatunya. Kebudayaan ini mengalami pergeseran setelah kekuatan-kekuatan Eropa menguasai daerah-daerah pesisir.

Kebudayaan masyarakat peladang dan pemburu berkembang di atas sistem pencaharian perladangan, yang ditandai oleh jarangnya penduduk dan baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu ke pertanian. Kategori kebudayaan ini meliputi kebudayaan orang Toraja di Sulawesi Selatan, orang Dayak di pedalaman Kalimantan, orang Halmahera, suku-suku bangsa di pedalaman Pulau Seram, suku-suku bangsa di kepulauan Sunda Kecil, orang Gayo di Aceh, orang Rejang di Bengkulu, dan orang Pasemah di Sumatra Selatan.
Ketika rancang bangun negara Indonesia merdeka diperbicangkan antara dekade 1920-an hingga 1940-an, partisipan utama dalam wacana publik dapat dikatakan mewakili perspektif budaya “Indonesia dalam” dan “Indonesia luar”. Kedua arus kebudayaan ini memiliki titik temu dalam menekankan pentingnya semangat kekeluargaan. Baik nelayan dalam mengayuh perahu, maupun petani dalam mengolah tanah, sama-sama membutuhkan semangat tolong-menolong’ gotong-royong. Dalam lingkungan kebudayaan seperti itu, seseorang hanya dapat memperoleh makna eksistensialnya dalam kemampuannya berbakti pada kebersamaan.

(Bersambung…)