Kemenangan Anies-Sandi, kemenangan spiritual umat Islam. (ilustrasi/aktual.com)

Kemenangan Anies-Sandi, Kemenangan Spiritual Umat Islam Merontokkan Sekularisme dan Persekongkolan Lintas Partai Berbasis Kepentingan

 Apa hikmah yang bisa diambil dari Pilgub DKI Jakarta yang berakhir pada 19 April lalu?

Ibarat sebuah skenario pagelaran atau drama, kemenangan Anies Rashid Baswedan dan Sandiaga Uno atas pasangan Petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, merupakan epilog. Adapun prolog-nya, adalah Aksi Bela Islam 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Ketika jutaan umat Islam tumpah-ruah membanjiri simpul-simpul penting jalan protocol kota Jakarta.

Umat Islam yang melakukan massa aksi Bela Islam tersebut, bukan sekadar Fron Pembela Islam yang dimotori Habib Riqiek. Melainkan melibatkan berbagai organ kemasyarakatan dan jaringan Islam dari berbagai mahzab maupun organisasi massa keislaman, menyatu dan bersenyawa meminta pertanggungjawaban hukum Ahok atas pernyataannya yang menghina agama Islam, khususnya Surah Al Maidah Ayat 51.

Mengapa jutaan umat Islam tumpah ruah memenuhi jalan-jalan protokol dan bahkan daerah kawasan Istana kepresidenan, padahal semula gugatan hukum terhadap penistaan Ahok terhadap Agama Islam dan Surah Al Maidah ayat 51 hanya dimotori oleh beberapa tokoh kunci di Majelis Ulama dan Fron Pembela Islam?

Pada tataran ini, Presiden RI pertama Bung Karno, punya pandangan menarik ihwal revolusi atau People Power. Bahwa revolusi atau People Power bisa terjadi, ketika pikiran sadar dan alam bawah sadar masyarakat bertemu dan kemudian saling membina dan saling membangkitkan.

Meskipun Aksi Bela Islam 4 November 2016 yang kemudian berlanjut pada 2 Desember 2016, belum masuk pada taraf sebuah revolusi, namun sudah cukup memadai untuk disebut sebagai People Power. Pikiran sadar beberapa ulama dan aktivis pergerakan Islam bahwa Ahok telah menistakan Islam dan Surah Al Maidah Ayat 51, merupakan satu hal. Namun yang tak diperhitungkan sama sekali oleh Ahok maupun persekongkolan para elit politik lintas-partai, betapa hal itu kemudian bertemu dengan alam bawah sadar umat Islam pada skala yang lebih luas, yang tidak saja dalam lingkup lokal di Jakarta, melainkan meluas dalam skala nasional. Inilah penjelasan paling logis mengapa Aksi Bela Islam yang semula terkesan hanya ekslusif terbatas pada hajatan beberapa ulama Majelis Ulama Indonesia dan FPI, kemudian menjelma menjadi the People Power bernama Aksi Bela Islam, yang melibatkan jutaan umat Islam.

Alhasil, pemerintahan Jokowi-JK yang sejatinya berbasis persekongkolan para elit lintas-parpol berbasis kepentingan, menghadapi sebuah gelombang besar yang tak terduga. Bukan karena secara kuantitas berhadapan dengan jutaan umat Islam, melainkan menghadapi sesuatu yang lebih kualitatif dan metafisik: Politik Umat Islam yang bersendikan Daya Spiritual Islam.

Inilah yang kondisi obyektif yang gagal dibaca secara jeli oleh para pemangku kepentingan bidang politik dan keamanan pemerintahan Jokowi-JK  Dalam situasi yang demikian, meminjam cara pandang Bung Karno, Revolusi atau People Power punya tujuannya sendiri. Dan memimpin dirinya sendiri. The revolution leads itself, dan the revolution has its own objectives.

 Bersatu-padunya para pemimpin umat seperti Amien Rais, Din Syamsuddin, Kyai Maruf Amin, Bachtiar Nasir, AA Gym sampai Arifin Ilham, bukan karena para tokoh tersebut tampil memimpin the People Power Aksi Bela Islam, tapi mereka tampil karena para beliau tersebut memancar dari the People Power yang sejatinya memimpin dan menggariskan tujuan dari Aksi Bela Islam tersebut.

Jika kita sepakat bahwa ulah Gubernur Petahana Ahok bermula ketika membuat pernyataan sarat penghinaan terhadap Surah Al Maidah ayat 51 dipandang sebagai penghinaan terhadap Islam sebagai sumbu pemantik, maka momentum itulah yang oleh Bung Karno disebut sebagai bertemunya pikiran sadar dan alam bawah sadar masyarakat, dalam hal ini umat Islam, yang kemudian menciptakan sebuah Gelombang. Aksi Bela Islam 411 dan 212.

Melalui momentum bersejarah tersebut, cara pandang yang berhaluan sekularisme yang dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang tidak saja di kalangan elit pemerintahan pusat dan daerah melainkan juga di masyarakat, kemudian berbenturan dengan pertautan pikiran sadar dan alam bawah sadar umat Islam yang kuat daya tolaknya terhadap pola pikir dan gaya hidup sekularisme yang dianut oleh para elit pemerintahan pusat dan daerah.

Celakanya lagi, pola pikir dan cara pandang sekulearisme ini kemudian menjadi landasan untuk membangun sebuah persekongkolan para elit politik lintas-partai berbasis kepentingan. Baik di sektor eksekutif pemerintahan maupun legislatif.

Ulah Ahok yang bermuara pada penistaan agama Islam, pada perkembangannya telah membangunkan alam bawah sadar umat dan para pemimpinnya, bahwa bangsa dan negara kita sedang mengalami de-spiritualisasi agama, dan demoralisasi spiritual. Itulah buah dari sekularisme, yang kemudian ditindak-lanjuti sebagai landasan untuk menyusun berbagai kebijakan yang bersendikan liberalisme di semua bidang. Tak terkecuali di sektor keagamaan, yang bersenyawa dengan tradisi dan kebudayaan yang hidup dan tumbuh-berkembang di kalangan masyarakat Indonesia.

Bertemunya pikiran sadar dan alam bawah sadar umat Islam dan para pimpinannya menyusul penistaan agama yang dilancarkan oleh Ahok, maka dari alam bawah sadar umat dan para pimpinannya itulah kemudian muncul suatu Politik Umat Islam.

Politik Umat Islam inilah, yang akhirnya memaksa para aparat penegak hukum menggiring Gubernur Petahana Ahok ke muka pengadilan. Melalui Politik Umat Islam ini pula, wacana untuk memunculkan calon gubernur alternative digulirkan, bersamaan dengan semakin mendekatnya Pemilukada DKI Jakarta pada awal tahun 2017 lalu.  Yang mana politik Umat kemudian menggulirkan jargon Calon Gubernur DKI Jakarta asal Bukan Ahok.

Maka, kalau Revolusi atau People Power dikatakan memimpin dirinya sendiri karena punya tujuan pada dirinya sendiri, maka itulah yang kemudian mencuatkan dua calon gubernur DKI Jakarta dalam rangka mengimbangi Gubernur Ahok. Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan.

Singkat cerita, dalam Pilgub Putaran Pertama, dikarenakan selisih antar ketiga calon tidak mencapai 50 persen plus satu, maka harus dilanjutkan pada putaran kedua. Agus karena menduduki urutan ketiga, tersingkir dari pertandingan selanjutnya. Sehingga Ahok sebagai gubernur petahana head to head melawan Anies.

Hasilnya, berita gembira buat pasangan Anies-Sandi. Meski baru merujuk pada hasil hitung cepat, Anies-Sandi unggul di kisaran 58 persen sedangkan Ahok-Djarot di kisaran 42 persen. Suatu selisih perbedaan suara yang lumayan jauh. Sehingga tak berlebihan jika bisa dikatakan Anies-Sandi telah menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang baru.

Bagaimana memaknai kemenangan Anies-Sandi ini? Maka kemenangan paslon nomor 3 harus dibaca bahwa Politik Umat Islam lah yang telah memenangkan Anies-Sandi.

Benar. Ini adalah kemenangan Politik Islam. Bukan kemenangan Islam Politik. Sebab kecuali pada kekompakan dan soliditas Partai Gerindra dan PKS yang memang sudah teruji kekompakannnya sejak awal, boleh dikatakan kemenangan Anies-Sandi sama sekali bukan atas dasar dukungan dari partai-partai Islam seperti PPP dan PKB.

Dengan makna lain, dengan kemenangan Anies-Sandi, bukan saja tidak menaati dan patuh pada pimpinan dan elit partainya. Yang terjadi justru sebaliknya, para konstituen partai-partai Islam sejatinya telah menghukum dan memberi pelajaran pahit kepada para pimpinan dan elit partainya, yang notabene secara terang-terangan mendukung pasangan Ahok-Djarot.

Tren terbaru ini, sudah selayaknya dibaca secara jeli dan cermat oleh para elit penguasa terutama di lingkar dalam pemerintahan Jokowi-JK. Bahwa people power yang bermula pada Aksi Bela Islam 411 dan 212, sejatinya bukan sekadar wujud ketersinggungan umat Islam terhadap ulah Ahok dalam menista agama. Melainkan juga mencerminkan alam bawah sadar Umat, yang notabene merupakan modalitas sosial bangsa Indonesia yang paling berharga dan bernilai, yang mendambakan NKRI kembali ke rel kebangsaan, nasionalisme kerakyatan dan Islam sebagai daya spiritual yang sudah hidup dan tumbuh-berkembang sejak berabad-abad silam di bumi nusantara.

Politik Umat Islam yang sejatinya muncul dari alam bawah sadar umat yang notabene selalu mensenyawakan daya spiritual Islam, kebangsaan dan nasionalisme kerakyatan, kemudian berkembang menjadi gelombang yang mewujud pada Aksi Bela Islam 411 dan 212.

Sudah seharusnya duet Anies-Sandi menyadari betul kondisi obyektif ini, bahwa kemenangan mereka berdua sejatinya merupakan satu tarikan nafas dengan Aksi Bela Islam 411 dan 212.

Sebaliknya, pemerintahan Jokowi sudah saatnya untuk menyadari realitas politik baru ini. Betapa persekongkolan aneka kepentingan yang dirajut melalui mesin politik yang bernama koalisi lintas-partai, terbukti tak berdaya ketika menghadapi daya spiritual Islam, yang bersemayam di alam bawah sadar dan kalbu umat Islam, dan masyarakat di bumi nusantara.

Hendrajit