Jakarta, Aktual.com – Besarnya dana desa yang digelontorkan pemerintah dirasa masih kurang optimal untuk menggenjot pertumbuhan pertanian di pedesaan. Pasalnya, yang terjadi justru setiap tahun terjadi penurunan jumlah petani.

Menurut ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga Ketua Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Gunawan Sumodiningrat, yang terjadi saat ini pertumbuhan sektor pertanian trennya terus menurun. Hal ini secara langsung telah mengurangi tenaga kerja yang menjadi petani.

“Jadi setiap 1 persen penurunan pertumbuhan sektor pertanian, mencerminkan penuruan jumlah petani sebesar 0,5 persen. Ini menunjukkan anggaran dana desa tidak optimal,” ujar dia dalam diskusi “HKTI: Tantangan Pertanian Pertanian Indonesia Lima Tahun ke Depan”, di Jakarta, Kamis (2/8).

Dia menambahkan, meskipun setiap tahun pemerintah menyalurkan dana desa, namun justru anggaran itu tidak terserap optimal.

“Anggaran itu tidak mampu menahan berkurangnya lahan pertanian dan juga tidak mampu mendorong pertumbuhan jumlah petani. Dana desa rata-rata Rp60 triliun per tahun hanya dinikmati di tingkat perkotaan saja,” papar dia lagi.

Dia menilai, selama ini kebijakan ekonomi pemerintah lebih berorientasi pada pencapaian target-target makro, sehingga telah gagal menumbuhkan sektor pertanian.

“Ada kesalahan pada kebijakan pemerintah yang berorientasi terlalu ke makro, sehingga melupakan sektor pertanian yang pertumbuhannya terus melambat. Akhirnya, lahan pertanian berkurang,” kata Gunawan

Lebih jauh dia menegaskan, pada dasarnya, secara teori penganggaran dana desa untuk memperbesar kontribusi desa terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. “Taoi yang ada sektor perindustrian ada di desa juga, jadi tidak menumbuhkan dengan adanya dana desa itu,” imbuhnya.

Dia menambahkan, sebanyak 60 persen petani padi masuk kategori petani gurem. Hal ini dipastikan tidak akan mampu mencukupi kehidupan harian. Pasalnya, jelas dia, laju kenaikan inflasi di desa juga tinggi dan mendekatkan petani pada kategori penduduk miskin.

“Meski mereka (petani gurem) meningkatkan produksi pertanian, namun swasembada beras tetap tidak akan tercapai, karena hasil produksi petani gurem tidak berkorelasi kuat terhadap target swasembada pangan,” papar Gunawan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kurun 2003-2013 jumlah petani gurem yang kehilangan lahan mencapai 53,75 persen atau sebanyak 5,04 juta rumah tangga petani. Konversi lahan didominasi oleh sektor perkebunan dengan areal seluas 41,32 persen dan kemudian diikuti sektor perumahan.

Artikel ini ditulis oleh: