Jakarta, Aktual.com – Lembaga Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa target untuk mewujudkan swasembada pangan harus bisa realistis dan jangan sampai memaksakan, seperti dengan menghentikan impor pangan.

Peneliti bidang perdagangan CIPS Hizkia Respatadi menyebut, adanya dampak perubahan iklim, buruknya kondisi jaringan irigasi, dan rendahnya minat generasi muda untuk bertani, agenda swasembada pangan dinilai tidak realistis.

Menurut Hizkia, bila hal tersebut dipaksakan, yang terjadi justru harga bahan pangan akan makin mahal. Hal ini akan memberatkan masyarakat kurang mampu dan prasejahtera.

“Kenyataannya, pemerintah harus menjawab tantangan untuk mencapai ketahanan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat, yang seharusnya memang menjadi fokus utama pemerintah,” ujar Hizkia.

Menurutnya, bila Presiden Joko Widodo melanjutkan rencananya untuk menghentikan impor bahan pangan paling lambat pada tahun 2019, masyarakat Indonesia berisiko mengalami harga-harga yang tinggi, dan memberikan kesempatan bagi para kartel mengeksploitasi kebutuhan para konsumen.

“Untuk itu, salah satu cara untuk mengatasi tantangan itu adalah dengan membuka diri terhadap perdagangan internasional dengan memberi peluang bagi para perusahan swasta yang memenuhi kualifikasi untuk turut aktif melaksanakan pengadaan bahan pangan sehingga tercipta pasar yang lebih kompetitif,” katanya.

Kesejahteraan petani di berbagai daerah, menurut Hizkia, perlu diperhatikan terkait dengan ambisi swasembada pangan yang kerap didengungkan selama ini.

“Daripada menghabiskan sekian banyak dari APBN untuk program subsidi pertanian, lebih baik anggaran tersebut untuk mendukung program-program kesejahteraan sosial yang memiliki dampak lebih signifikan pada pelayanan kesehatan dan pendidikan petani,” jelasnya.

Hal itu mengingat kesempatan mereka untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui berbagai peluang usaha dan pekerjaan lain akan berkurang sehingga mereka rawan terhadap kenaikan harga bahan pangan.

Berdasarkan data Sensus Pertanian BPS Tahun 2013, dari 25,75 juta rumah tangga pertanian pengguna lahan di Indonesia, lebih dari 55 persen adalah pengguna lahan berskala kecil yang masing-masing berukuran kurang dari 0,5 hektare.

Lahan sekecil itu, menurut dia, tidaklah cukup untuk menumbuhkan seluruh kebutuhan pangan mereka, apalagi untuk memberikan mereka penghasilan yang layak dari surplus produksi panen.

“Jika dipaksakan untuk hanya bergantung pada hasil bumi mereka sendiri, para keluarga petani ini justru berpotensi kehilangan kesempatan untuk memperoleh penghasilan tambahan dari pekerjaan lain, seperti menjadi karyawan di kota atau bahkan di luar negeri,” pungkasnya.

Bank Dunia mencatat bahwa 34,3 juta pekerja di sektor pertanian Indonesia tergolong miskin atau rentan dengan penghasilan kurang dari 1,90 dolar AS sehari atau sekitar Rp750 ribu per bulan.

Pewarta : Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs