BPK

Jakarta, Aktual.com-Informasi Asimetris terjadi selama ini tatkala banyak keberhasilan penindakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap sebagai hasil kerja KPK semata. Padahal banyak temuan besar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  yang menjadi bahan bagi KPK untuk menjalankan tugasnya.

Contohnya, temuan ribuan rekening liar pemerintah pusat dan daerah bernilai puluhan trilyun rupiah, ataupun grand corruption dalam cost recovery migas, pertambangan, korupsi Hambalang, Century, dan kasus E-KTP. Yang terakhir adalah temuan indikasi kerugian negara di Pelindo II yang nilainya 4,08 Triliun rupiah. Jika berkali-kali KPK berhasil menjebol gawang lawan, sebenarnya BPK-lah yang sering mengoper bola dengan cantik. Justru dalam kasus dugaan korupsi RS Sumber Waras, terjadi sebuah anomali dimana hasil pemeriksaan investigasi BPK ternyata tidak diindahkan oleh KPK.

Memang, dalam perang melawan korupsi KPK menjelma layaknya “pasukan para komando”. Lembaga anti rasuah ini memiliki kemampuan intelejen – penyadapan, penggalangan – membuka saluran pengaduan masyarakat dan menarik dukungan masyarakat sipil, serta upaya-upaya pencegahan – LHKPN, zona integritas, ataupun edukasi. “Grup pasukan elit” KPK yang kecil namun lincah diperlengkapi “alutsista” ampuh berupa payung hukum Operasi Tangkap Tangan (OTT), kewenangan mengakses data dan informasi perbankan, perpajakan, dan tidak boleh menghentikan penyelidikan (SP3). Hasil sementara peperangan melawan korupsi saat ini melalui Indeks Persepsi Korupsi menunjukkan terdapat kenaikan 2 poin peringkat Indonesia (19 peringkat) dibandingkan tahun 2001 dengan skor 36 pada tahun 2015.

Namun demikian, menganggap KPK sebagai sepenuhnya malaikat, apalagi membenturkannya dengan BPK bukan hanya tidak perlu, bahkan berbahaya. Dalam beberapa kasus pegawai KPK ternyata terbukti melakukan korupsi. Adagium Lord Acton yang berbunyi, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” masih relevan untuk direnungkan. Masih banyak tantangan yang harus dibuktikan oleh KPK misalnya terkait korupsi besar yang dilakukan oleh korporasi besar ataupun asing. OTT yang terjadi dalam beberapa kasus juga seharusnya berlanjut kepada penguakan grand corruption, seperti SKK Migas atau kasus Reklamasi.

Banyaknya kritikan para politisi yang menganggap KPK sekarang cenderung lebih kuat nuansa politisnya dengan melakukan festivalisasi pemberantasan korupsi, karena beberapa kasus OTT kecil (ratusan juta rupiah) yang menyasar tokoh-tokoh yang dianggap oposisi pemerintah, patut dijadikan bahan introspeksi. Kuatnya dukungan kepada KPK selama ini, karena rakyat masih menaruh kepercayaan. Setidaknya KPK dan BPK adalah dua lembaga yang masih dipercayai oleh publik, dimana laporan akuntabilitas kinerja kedua lembaga mendapatkan penilaian tinggi dari Kemenpan RB, dengan nilai A setidaknya untuk tiga tahun terakhir.

Kalaupun terdapat kritikan atau bahkan audit menyeluruh terhadap KPK harus dilihat sebagai bagian dari overhoul mesin KPK yang telah berjalan 16 tahun, agar bisa berlari lebih kencang dan memberikan dampak yang lebih besar dengan fokus pada grand corruption. Upaya tersebut bagian dari check and ballance lembaga negara lainnya atas kekuasaan besar yang dipegang KPK. Bukankah jargon yang didengungkan KPK adalah “Kalau bersih kenapa risih” dan “Berani jujur, hebat”. KPK sebagai pemegang pedang keadilan untuk memenggal para koruptor, harus tetap seperti Dewi Keadilan yang tertutup matanya. KPK, (sebagaimana BPK) akan ditinggalkan oleh kekuatan masyarakat sipil, jika anti-kritik atau bahkan dekat dengan permainan politik. Justru respon yang tidak berlebihan lembaga negara lain yang personelnya pernah tertangkap KPK (MA, MK, BPK, Kejaksaan), patut ditiru oleh KPK.

Pimpinan kedua lembaga negara idealnya memang harus profesional, nonpartisan, dan jauh dari kepentingan politik praktis. Meskipun sudah clear dijelaskan di depan Ditjen Pajak terkait Panama Paper, atau bebas di pengadilan terkait kasus perpajakan, kriteria pimpinan BPK (dan KPK) yang lebih memenuhi harapan publik terkait independensinya perlu dimasukkan dalam revisi UU terkait kedua lembaga. Isu lain yang patut dipertimbangkan adalah kemungkinan kuota pimpinan dari internal yang akan lebih menjamin kesinambungan rencana strategis kedua lembaga, ataupun pembagian portofolio pimpinan BPK khususnya untuk jenis pemeriksaan kinerja agar lebih menggambarkan fungsi-fungsi dalam lembaga eksekutif.

Sebagai anak kandung reformasi, KPK dan BPK hari ini adalah produk penataan ulang kelembagaan negara melalui empat kali amandemen UUD 1945. Dalam proses tersebut tidak ada lagi istilah lembaga tinggi dan tertinggi negara serta dilakukan likuidasi terhadap DPA. Pasal 23 ayat 5 UUD 1945 menyebut BPK sebagai Lembaga Negara yang bertugas memeriksa keuangan negara, yang kedudukannya sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden/Wapres, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. BPK yang sekarang telah direvitalisasi melalui paket tiga UU; perbendaharaan, keuangan negara, serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.

Sementara KPK adalah salah satu komisi negara yang bersifat independen, yang didirikan berdasarkan UU No. 30/2002 yang dibentuk karena kurang berjalannya fungsi pemberantasan korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan pada waktu itu. Korupsi yang dianggap extra ordinary crime oleh bangsa kita telah menempatkan KPK sebagai ujung tombak dalam perang melawan korupsi. Oleh karena itu, salah satu tugas komisi negara yang memiliki visi “Bersama Elemen Bangsa, Mewujudkan Indonesia Yang Bersih Dari Korupsi” ini adalah melakukan supervisi dalam penanganan kasus korupsi oleh Kejaksaan dan Kepolisian, termasuk mendukung rencana pembentukan densus anti-korupsi.

Patut direnungkan, peperangan melawan korupsi saat ini bukan lagi sesederhana pilihan formasi “Garuda Melayang”, “Bulan Sabit”, ataupun “Perang Parit”, namun multifront yang memerlukan keunggulan strategi dan doktrin perang. Diperlukan strategi yang lebih canggih, karena adanya perkembangan baru misalnya terkait “korupsi kebijakan” yang lebih dahsyat nilainya, ataupun merebaknya kembali dana non-bujeter yang pernah dilarang di era Ketua BPK, Anwar Nasution. Justru dalam perang melawan korupsi saat ini diperlukan sinergi kedua lembaga, dimana BPK juga telah membentuk unit khusus Audit Investigasi. Keunggulan strategis BPK, seperti kedudukan hukumnya yang sangat kuat dalam konstitusi, penggelaran pasukan “auditor” di 34 ibukota provinsi, dengan kekuatan kemampuan ”penguasaan teritorial” yang baik perlu digandeng dengan lebih erat oleh KPK.

Adalah misleading jika menganggap keberhasilan pemberantasan korupsi merupakan puncak keberhasilan pemerintahan, sebagaimana menganggap Opini WTP pasti bebas dari korupsi karena audit saat ini menggunakan cara sampling. Pada piramida kematangan sebuah Supreme Auditor, INTOSAI menempatkan pemberantasan korupsi pada posisi paling dasar, yang disusul dengan meningkatkan transparansi, menjamin terlaksananya akuntabilitas, meningkatkan kualitas kebijakan, dan memiliki visi kedepan yang lebih tajam pada posisi puncak capaian. Kebijakan BPK meningkatkan pemeriksaan ekonomi, efisiensi dan efektifitas (pemeriksaan kinerja) atas program/kegiatan pemerintah menjadi pilihan yang tepat. Maka harapannya negara kita kedepan bukan hanya keluar dari peradaban korupsi, namun arah pembangunannya juga semakin mendekat pada tercapainya tujuan bernegara. BPK adalah KPK Yang Lain.
oleh: Nico Andrianto

Penulis adalah: Alumnus Program Master of Policy and Governance, The Australian National University, Australia dan Penulis Buku “Korupsi di Daerah, Modus Operandi dan Peta Jalan Pencegahannya”.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs