Jakarta, Aktual.com – Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1 tahun 2016 tentang Investasi Surat Berharha Negara (SBN) bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank, telah mengatur investasi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan di SBN.

Dari dana investasi kedua BPJS itu di SBN, memang diharapkan bisa mengatasi defisit APBN 2017 yang mencapai 2,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Khusus untuk BPJS Kesehatan, asetnya sebenarnya berperan mendukung cash flow Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Sehingga ketika cash flow DJS mengalami defisit, biasanya aset BPJS digunakan utk menalangi defisit DJS, hingga adanya PMN (Penyertaan Modal Negara),” tandas Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, di Jakarta, Selasa (29/11).

Namun sayangnya, DJS itu terus mengalami defisit. Data per September 2016 ini, DJS memiliki utang sebesar Rp2,079 triliun ke aset BPJS Kesehatan. Utang tersebut terdiri dari utang beban operasional sebesar Rp7,3 milyar dan utang talangan sebesar Rp2,072 triliun.

Padahal, kata dia, berdasar POJK itu BPJS Kesehatan diwajibkan untuk menginvestasikan minimal 30 persen dari seluruh jumlah investasi BPJS Kesehatan di SBN. Dan BPJS Ketenagakerjaan diharuskan menginvestasikan paling rendah 50% dari seluruh jumlah investasi Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dan paling rendah 30% dari seluruh jumlah investasi BPJS Ketenagakerjaan.

Sementara itu data per 30 September ini, dari total pendatan sebesar Rp50,29 triliun, total bebannya sebesar Rp53,46 triliun sehingga terjadi penurunan aset neto (atau defisit) sebesar Rp3,17 triliun.

Bila dijumlahkan dengan aset neto awal periode yang sebesar Rp9,06 triliun maka total aset neto akhir periode (hingga 30 September 2016) menjadi Rp12,24 triliun. “Ini artinya defisit terus terjadi di DJS,” tandasnya.

Oleh karena itu, kata dia, kalau aset BPJS diwajibkan minimal 30 persen ditaruh di SBN maka kemungkinan aset BPJS mengalami kesulitan membantu DJS.

“Seharusnya OJK memberikan kebebasan kepada Direksi BPJS kesehatan untuk menginvestasikan dana aset BPJS-nya ke instrumen-instrumen yang lebih fleksibel dan optimal, tidak perlu diwajibkan sekian persen untuk SBN,” terangnya.

Kewajiban investasi ini, katanya, harus dilaksanakan paling lambat 31 Desember 2016 oleh kedua BPJS. Bila ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka pada Pasal 5 tercantum sanksi kepada direksi, yaitu dari sanksi Peringatan Tertulis, penilaian kembali kepatutan dan kemampuan, hingga sanksi larangan menjadi direksi BPJS.

Selain itu, ternyata BPJS ini tak membayar iuran ke OJK sebagai lrmbaga pengawasnya. Untuk BPJS Kesehatan, OJK sudah mengirimkan tagihan iuran sebesar Rp1,7 milyar, yang hingga kini iuran tersebut belum dibayar.

“Atas belum dibayarkannya iuran tersebut, OJK memang sudah mengirimkan dua kali surat teguran BPJS Kesehatan agar membayar iurannya ke OJK itu,” pungkasnya.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka