Makassar, Aktual.com – Salah satu calon gubernur (Cagub) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulawesi Selatan 2018, Nurdin Abdullah (NA) disebut sebagai sosok yang ironis.

Sebagai satu-satunya Cagub yang bergelar Profesor, gelar tertinggi dalam sebuah kehidupan akademis, NA justru mengabaikan data statistik yang menggambarkan keadaan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Terlebih, data yang ditolaknya berasal dari lembaga sekaliber Badan Pusat Statistik (BPS).

Kabupaten ini menjadi wilayah yang dipimpin oleh NA dalam kurun waktu 2008-2018. Oleh BPS, Kabupaten Bantaeng disebut sebagai salah satu wilayah termiskin di Sulsel.

Hal ini pun ditanggapi oleh Ketua Umum Angkatan Muda Yayasan Al Falah (AMYA) Rusdi. Menurutnya, NA sama sekali tidak mengetahui kondisi real di lapangan.

Rusdi mengungkapkan, fakta yang ada di lapangan, bahwa masih banyak warga miskin yang berada di Kabupaten Bantaeng dilatarbelakangi oleh ketidakhadiran Pemerintah setempat dalam melakukan pemberantasan kemiskinan.

Ia menambahkan, masih banyak warga di desa-desa ataupun kelurahan yang ada di Kabupaten Bantaeng yang hidup di bawah garis kemiskian. Bahkan, rumah yang mereka huni tidak layak ditempati lantaran mereka tidak pernah mendapat Bantuan dari Pemerintah.

“Pemerintah Kabupaten Bantaeng kurang memperhatikan ke bawah. Untuk mengetahui kondisi masyarakatnya saja tidak ada yang tahu karena tidak pernah masuk ke pelosok desa,” ujar Rusdi di Kelurahan Campaga, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulsel, Sabtu (7/4) lalu.

Penolakan NA terhadap data BPS ini terjadi dalam acara ‘Kandidat Berbicara’ yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV, pada 29 Maret 2018 lalu.

Dalam acara itu, NA mengungkapkan bahwa selama 10 tahun kepemimpinannya, Kabupaten Bantaeng menjadi wilayah favorit untuk dikunjungi oleh pejabat-pejabat dari daerah lain. Ia mengklaim, sedikitnya terdapat 200 kabupaten/kota yang hendak belajar tentang pembangunan dan pemerintahan di Kabupaten Bantaeng.

Dengan bangga, NA menyebut Bantaeng sebagai kabupaten yang penuh dengan inovasi dan berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat dengan baik.

“Kalau ingin melihat rakyat yang nyaman dan bahagia datang ke Bantaeng. Soal contoh kebahagiaan, kenyamanan dan kesejahteraan ada di Bantaeng,” ujarnya saat itu.

Namun demikian, pernyataannya ditanggapi secara kritis oleh 1 dari 4 panelis. Panelis tersebut membedah secara faktual keadaan Kabupaten Bantaeng dengan sejumlah data dari BPS sebagai indikator.

Menurutnya, terdapat lima instrumen yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat.

Pertama, seberapa besar kemampuan pemimpin di suatu daerah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, seberapa tinggi kemampuan pemerintah/pemimpin menurunkan daerah tersebut dari jumlah orang yang tergolong miskin.

Ketiga, kemampuan pemerintah menurunkan jumlah pengangguran. Keempat, bagaimana kemampuan pemerintah menaikkan income per kapita masyarakat. Terakhir, hasil dari pembangunan itu akan melahirkan indeks pembangunan manusia (IPM).

Dengan menggunakan lima instrument tersebut, panelis tersebut pun memaparkan keadaan Kabupaten Bantaeng berdasarkan data statistik dari BPS.

Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Bantaeng rata-rata tumbuh 8,1 persen selama 9 tahun terakhir kepemimpinan NA. Pertumbuhan ini menempatkan Bataeng pada rangking ke 6 dari 24 kabupaten/kota di Sulsel.

Namun, jumlah orang miskin di Bantaeng nyatanya juga semakin banyak, dari 8,89% pada 2012 menjadi 9,96% pada 2017. Angka kemiskinan Kabupaten Bantaeng pada tahun lalu pun lebih tinggi dari jumlah rata-rata Sulsel pada periode yang sama.

Angka ini menempatkan Bantaeng sebagai kelompok kabupaten yang memiliki jumlah orang miskin ke 13 dari 24 kabupaten/kota.

Dari sisi akselerasi menurunkan kemiskinan, Bantaeng justru memproduksi secara positif jumlah orang miskin. Ketiga, rata-rata rangking jumlah pengangguran Kabupaten Bantaeng adalah rangking 9, dengan jumlah pengangguran pada 2017 sebesar 5,23 persen. Atau, rata-rata jumlah pengangguran di Bantaeng sepanjang 2010-2017 sebesar 5,17 persen.

Sedangkan rata-rata akselerasi kenaikan Income per capita Bantaeng sebesar 22,7 persen, atau dari 7,2 juta pada 2008, menjadi 34 juta pada 2016. Angka-angka ini menempatkan Bantaeng pada rangking ke tujuh, dari 24 kabupaten/kota. Keempat hal tersebut akan tercemin pada IPM.

Bantaeng memiliki IPM sebesar 66,59 (2016), jauh di bawah rata-rata Sulsel yang sudah mencapai 69,76 pada periode yang sama. Angka ini lagi-lagi menempatkan Bantaeng pada rangking ke 16 di Sulsel.

Angka-angka yang bersumber dari BPS ini, menurut panelis tidak satupun menempatkan Bantaeng masuk lima besar di Sulsel, bahkan dari lima indicator itu, hanya dua indicator yang sepuluh besar. Namun kenapa Bantaeng bisa dikenal sebagai kabupaten yang sukses dan hebat? Inilah yang ditanyakan oleh panelis kepada NA.

Jawaban NA sangatlah mengejutkan, bukan saja karena NA seorang professor, tapi juga NA adalah policy maker, bupati dua periode yang selalu menyusun perencanaan berdasarkan data. Menurut NA data itu politis, dan terkesan tidak bisa dipercaya, bahkan ia menggugat BPS yang tidak tepat mengumpulkan informasi, karena selalu mengganti-ganti kolektor/pengumpul datanya.

NA mempersilakan panelis untuk datang melihat sendiri Bantaeng. Menurut pria yang dijuluki ‘Profesor Andalan’ ini, sebuah mobil sedang dapat digunakan untuk berkeliling Bantaeng lantaran semua jalannya sudah mulus.

Tapi panelis lain memotong pernyataan NA dengan mengatakan, sangat berbahaya bagi policy maker melihat sesuatu dengan presepsi, harus gunakan data, dan BPS adalah sumber data resmi pemerintah. Bangunan persepsi itu menurut panelis itu adalah milik politisi, untuk mengelabui publik.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan