Meikarta (Foto: Istimewa)
Meikarta (Foto: Istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Pakar Hukum Pidana Ahmad Sofian menilai Megaproyek Meikarta berpotensi melanggar tindak pidana. Potensi pelanggaran pidana menyangkut tiga undang-undang dan doktrin hukum.

“Megaproyek Meikarta berpotensi melanggar tindak pidana berdasarkan tiga Undang-Undang dan doktrin hukum,” ujar Ahmad Sofian dalam sebuah diskusi di Universitas Tarumanegara Jakarta, ditulis Sabtu (23/9).

Doktrin hukum terkait dengan Misrepresentation atau fakta tidak disampaikan dengan lengkap. Apabila Meikarta terbukti dengan sengaja Fraudelent (tidak menyampaikan fakta materiil) maka Lippo bisa masuk dalam tindak pidana ekonomi, bisa dijadikan tidak pidana penipuan.

Fraudulent mispresentation inilah yang bisa dijadikan tindak pidana ekonomi. Bisa dijadikan tindak pidana penipuan terkait pasal 378 KUHP, mempengaruhi orang lain untuk memperoleh keuntungan diri sendiri atau perusahaan,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, Meikarta berpotensi melanggar UU 20/2011 tentang rusun, UU 32/2009 terkait perizinan dan UU 1/2011 tentang kawasan perumahan dan pemukiman. Berdasarkan Pasal 20/2011, Lippo cikarang masuk subyek hukum karena Meikarta inisiasi dari Lippo grup di bawah kendali Lippo Cikarang.

“Asas legalitas dan kurvabilitas harus dipenuhi di tindak pidana,” jelasnya.

Ada beberapa kriteria tindak pidana yang dilanggar pengembang seperti perizinan pada pasal 107 dan 108. Selain itu, terkait mengingkari kewajiban lahan 20 persen untuk Masyarakat  Berpenghasilan Rendah (MBR) dan pembangunan perumahan di luar lokasi yang diperuntukkan.

Terkait UU 32/2009, Meikarta belum memiliki izin lingkungan, artinya berpotensi melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, dilampauinya baku mutu lingkungan (pasal 98-101), pembuangan dan pengelolaan limbah B3 (pasal 102-107) dengan sanksi pidana penjara dan denda.

Sedangkan UU 1/2011 pasal 139 menyebutkan pengembang dilarang membangun perumahan dan pemukiman bukan di kawasan yang diperuntukkan buat perumahan/pemukiman.

“Pasal 141 menyebut pejabat dilarang mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan dan atau pemukiman yang tidak seusai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang. Sedangkan sanksi bagi pejabat tersebut, dipidana dua tahun penjara dan denda dua miliar,” jelasnya.

Dirinya mendorong pihak berwajib untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut seperti mengumpulkan bukti-bukti awal dan kronologis. Pasalnya, yang bisa menentukan Meikarta bersalah adalah pengadilan. Padahal hingga saat ini delik aduan belum muncul juga ke permukaan.

Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih mengamini hal tersebut. Meikarta memulai izin sejak 1994. Sebelumnya, kawasan tersebut merupakan kawasan subur karena digunakan sebagai lahan pertanian masyarakat.

“Meikarta memulai izin sejak 1994 untuk membangun kawasan industri dan pemukiman. Mereka harus membunuh lahan subur untuk menjadi kawasan kota. Sedangkan Kementerian PUPR terkesan diam saja, diundang beberapa kali ke Ombudsman tidak datang. Namun tiba-tiba bilang Meikarta tidak salah,” jelasnya.

Menurutnya, salah satu kendala Meikarta adalah izin Amdal dan zonasi. Pasalnya Lippo sebelumnya pernah mengeluarkan statement izin sudah selesai, namun ternyata masih terkenda di amdal dan zonasi.

“Meikarta memanfaatkan izin pemanfaatan tanah, namun terhalang izin Amdal dan zonasi. Zonasi yang diusulkan Meikarta ada di zona 3, namun masih acak-acakan belum jelas. Padahal Lippo telah membayar Rp50 miliar untuk IMB. Namun belum bisa dikeluarkan. Meskipun izin belum ada, Lippo telah menggambil booking fee, ini haram sesuai Undang-undang pasal 43. Kalau terjadi penjualan (unit) maka sanksi nya pidana,” tegasnya.

Bahkan, lanjutnya, megaproyek Meikarta ini jelas diperuntukkan bukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pasalnya harga yang ditawarkan tergolong tinggi dibanding perumahan murah yang berharga Rp100 Jutaan.

“Proyek ini bukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, namun masyarakat kelas menengah-atas dengan penghasilan tetap,” jelasnya.

Dirinya pun khawatir, apabila proyek ini mangkrak, maka negara akhirnya yang harus mengcover dana konsumen melalui perbankan.

“Saya khawatir ketika proyek ini gagal. Konsumen akan minta ganti rugi ke pemerintah, Saya tidak rela pajak untuk mengganti itu,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka