Jakarta, Aktual.com – Guru Besar UIN Walisongo Semarang Abdul Djamil mengatakan latar belakang jamaah haji yang sangat beragam, menjadi tantangan bagi petugas haji karena jika tidak ditangani dengan baik, bisa memicu pelayanan yang buruk.

“Pada saat manasik, si tutor harus sudah menyadari realitas bahwa yang mereka ajari manasik ada yang tidak tamat SD, ada yang doktor,” kata Djamil yang juga mantan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama itu di Jakarta, Selasa (29/5).

Dia mengatakan dengan latar belakang jamaah haji yang sangat heterogen, tentu membuat petugas harus bisa melayani jamaah sesuai kebutuhan mereka masing-masing.

Djamil mencontohkan dari ribuan jamaah terdapat individu yang belum menempuh pendidikan tinggi dan ada yang sudah memiliki banyak gelar studi.

Dalam beribadah, kata dia, dengan latar belakang pendidikan yang berbeda membuat perlakuan yang berbeda oleh pembimbing dalam mengajari dan mengomunikasikan manasik haji yang baik dan benar.

Contoh lain, lanjut dia, terdapat jamaah yang tidak pernah ke luar kota apalagi naik pesawat. Di sisi lain, terdapat jamaah yang bolak-balik naik pesawat.

Dengan begitu, kata Djamil, jamaah yang sudah sering naik pesawat dengan yang belum pernah juga akan berbeda dalam mempersiapkan keberangkatannya.

“Saat saya menjadi petugas haji terdapat seorang ibu di pesawat yang meminta tolong agar dibukakan jendela pesawat agar ada angin semilir,” kata dia mencontohkan kejadian jenaka dari jamaah yang belum pernah naik pesawat.

Djamil menawarkan solusi bagi petugas haji guna mengatasi jamaah yang cenderung kesulitan menyesuaikan diri dalam prosesi perjalanan haji.

“Yang penting adalah praktis yang diajarkan sehingga mudah dimengerti. Praktis proses perjalanan hajinya misal saat sampai di Madinah seperti apa lalu masuk Makkah seperti apa, Arofah, Mina, dibikin yang sederhana,” kata dia.

Petugas haji, kata dia, tergolong sebagai orang yang telah memiliki pengetahuan haji tinggi agar mengerti bahwa petugas harus bisa melatih orang yang tidak tahu sama sekali manasik haji dan perkara haji lainnya.

Terlebih, lanjut dia, dalam satu kelompok terbang yang terdiri dari sekitar 360 orang berisi satu ketua kloter, 10 orang ketua rombongan (karom) dan 40 orang ketua regu (karu) dan sisanya anggota jamaah haji.

Guna mendorong bimbingan manasik yang intensif dan sesuai kebutuhan jamaah yang beragam, kata dia, maka ketua kloter, ketua regu dan ketua rombongan harus bisa memetakan kebutuhan bimbingan jamaah.

“Lewat karu karom, itu pola bagaimana mengoordinasikan dalam jumlah besar jadi satuan-satuan kecil,” kata dia merujuk pada bimbingan bagi jamaah yang beragam.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: