Jakarta, Aktual.com – Pemerintah tampak tak kehilangan akal untuk mencari celah guna menyehatkan fiskal Indonesia. Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanan Terorisme atau Perpres Beneficial Ownership.

Dengan adanya Perpres ini, regulasi yang mengatur keterbukaan pemilik manfaat dari sebuah korporasi resmi berlaku. Pemerintah pun mengklaim bahwa aturan ini diadakan untuk mengatasi pencucian uang dan pendanaan terorisme di tanah air.

Dalam aturan tersebut, semua perusahaan, yayasan, kemitraan terbatas dan jenis perusahaan lainnya harus mengungkapkan setidaknya satu orang sebagai pemilik aset mereka saat mendaftar untuk bisnis. Perusahaan yang sudah beroperasi juga harus mengungkapkan rincian tersebut kepada pihak berwenang dalam setahun.

Apa itu Beneficial Ownership?

Pendifinisian pengendali utama perusahaan atau Beneficial Ownership (BO) secara global pada awalnya banyak dikonstruksi oleh OECD, terutama melalui beberapa putaran konvensi model perpajakan (OECD Model Tax Convention).

Dalam OECD Working Party 2011, BO didefinisikan sebagai individu penerima manfaat yang sebenarnya.

OECD membagi tiga jenis pemilik dan penerima manfaat sebenarnya: (1) dalam sebuah perusahaan, BO adalah pemegang saham (shareholder) atau anggota; (2) dalam sebuah kerja sama (partnerhip), BO adalah pihak partner baik yang sifatnya terbatas maupun umum; (3) dalam sebuah trust atau foundation, BO adalah pendiri.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWPY), Maryati Abdullah dalam sebuah tulisan di salah satu media online menyebutkan, BO di Indonesia banyak didefinisikan dalam konteks perpajakan, khususnya terkait pencegahan penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty).

Menurut Maryati, Dirjen Pajak (DJP) telah beberapa kali menerbitkan Surat Edaran (SE) yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan yang terakhir berubah menjadi UU Nomor 36/2008.

SE paling baru yang dirilis DJP adalah PerDirJen Nomor: PER-25/PJ/2010. Dalam beleid tersebut, BO didefinisikan sebagai pemilik sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan.

“Yang dimaksud BO adalah penerima penghasilan yang bertindak tidak sebagai agen, tidak sebagai nominee (pinjam nama); dan bukan perusahaan conduit (perusahaan perantara),” tulis Maryati dalam ‘Menguak Beneficial Ownership, Bongkar Kamuflase Ekonomi’.

Kebutuhan akan keterbukaan BO sendiri mencuat dalam beberapa tahun silam, khususnya setelah adanya skandal Panama Pappers yang mengguncang dunia global.

Dokumen Panama Pappers telah membuka lebih dari 11,5 juta dokumen rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan Mossack Fonseca.

Dari dokumen yang bocor, terkuak nama pemimpin negara, serta pejabat pemerintahan, kerabat, dan teman dekat sejumlah kepala pemerintahan, dari sekitar 40 negara lainnya.

“Jantung dari pengungkapan Panama Papers adalah kepemilikian sesungguhnya atau pengendali utama perusahaan (Beneficial Ownership) dari sebuah perusahaan,” ucap Maryati.

Selain itu, praktik BO juga erat kaitannya dengan fenomena aliran dana gelap atau illicit financial flows (IFF) ke luar yurisdiksi. Aliran dana gelap dapat dibagi menjadi dua cakupan, yaitu dana hasil kriminal dan dana yang didapatkan secara legal tetapi justru menjadi ilegal karena dalam praktiknya justru digunakan untuk pembiayaan tindak ilegal.

Contoh dari dana hasil tindak kriminal antara lain adalah korupsi, penyalahgunaan kekuasaan atau kejahatan yang terorganisir. Sedangkan contoh dari golongan kedua adalah pendanaan terorisme atau pemindahan dana secara ilegal yang dapat dilihat dalam pelanggaran hukum pajak.

Apa Motif Keluarnya Perpres BO?

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby