Kebijakan Menteri ESDM Ignasius Jonan berbalik arah, secara perlahan-lahan ia memenuhi keinginan Freeport. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Perjuangan Indonesia untuk berdaulat dalam mengelola kekayaan alamnya nampaknya membuahkan hasil. Kurang lebih sejak 10 tahun lalu, lewat disahkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, pemerintah sudah menginginkan agar Tambang Emas terbesar di Dunia yakni di Papua yang dikelola oleh PT Freeport Indonesia (Anak Usaha dari Freport McMoRan berbasis di Amerika Serikat) kuasa penuhnya ada di tangan Indonesia.

Salah satu amanat dari UU tersebut adalah dalam jangka waktu 5 tahun sejak diundangkan, yakni mulai berlaku 12 Januari 2014, minimal 51% saham Freeport harus dikuasai pemerintah Indonesia. Namun terjadi tarik ulur yang sengit antara pemerintah dengan Freeport, dimana pemerintah ingin menjalankan UU Minerba tersebut secara utuh dan konsekuen, sedangkan Freeport masih tetap konsisten dengan perjanjian Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani sejak 1991 dan baru akan berakhir tahun 2021.

KK Freeport ini kedudukannya sama seperti UU, sehingga Freeport mengancam akan membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional jika pemerintah Indonesia tetap ngotot menerapkan UU Minerba untuk mengambil alih Freeport. Pemerintah pun tak kuasa untuk bersikap tegas terhadap Freeport, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah menahan pemberian izin keluar ekspor, sampai beberapa kali. MoU antara pemerintah dan Freeport juga kerap kali dilakukan agar pemerintah mau mengeluarkan izin ekspor, dan Freeport mau membangun Smelter, karena poin lain yang diamanatkan UU Minerba adalah, tidak boleh lagi adanya ekspor mineral mentah. Semua produk mineral harus dilakukan pengolahan di dalam negeri.

Meskipun adanya MoU, tetapi tetap saja Freeport berkali-kali tidak menjalankan kesepakatan tersebut, dan bahkan tetap bertahan dengan kesepakatan KK. Renegosiasi antara pemerintah dan Freeport ini terus berjalan selama era Jokowi-JK ini, bahkan sempat mencuat kasus “Papa Minta Saham” yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto, Menteri ESDM Sudirman Said, dan Presdir Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsuddin ke sidang Mahkamah Kehormatan Dewan dalam kasus pelanggaran kode etik tahun 2016 silam.

Setelah lima tahun lebih proses renegosiasi dilakukan, akhirnya Kamis (27/9/2018) pemerintah Indonesia menguasai 51% saham Freeport dengan telah dilakukannya tahapan akhir yakni penandatanganan sales and purchase agreement (spa), antara PT Inalum dengan PT Freeport-McMoRan Inc dan PT Rio Tinto Indonesia. Penandatanganan tersebut dilaksanakan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan langsung dilakukan oleh Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson. Pemerintah Indonesia diwakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang turut hadir menyaksikan penandatanganan tersebut.

Setelah penandatanganan SPA ini, PT Inalum hanya tinggal menyelesaikan administrasi saja. Kementerian ESDM tinggal menunggu PT Freeport Indonesia mengirimkan surat perubahan pemegang saham, yang dilakukan setelah Inalum menyelesaikan pembayaran ke Freeport. Adapun total pembayaran yang harus dilakukam Inalum sebesar 3,85 miliar dolar AS itu terbagi untuk pembelian saham Rio Tinto di PT FI sebesar 3,8 miliar dolar AS, 3,5 miliar dolar AS, dan sisanya 350 juta dolar AS untuk membeli saham Indocooper di PT FI.

Freeport Dapat Izin Operasi Hingga 2041

Halaman Berikutnya…