Sejumlah kendaraan menerobos banjir yang merendam di depan kampus Trisakti dan Untar,Grogol, Jakarta, Selasa (21/2/2017). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa ada 54 titik banjir yang tersebar di wilayah Jakarta dengan ketinggian bervariasi. AKTUAL/Munzir
Sejumlah kendaraan menerobos banjir yang merendam di depan kampus Trisakti dan Untar,Grogol, Jakarta, Selasa (21/2/2017). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa ada 54 titik banjir yang tersebar di wilayah Jakarta dengan ketinggian bervariasi. AKTUAL/Munzir

Yogyakarta, Aktual.com – Pakar Teknik Sumberdaya Air dari Universitas Gadjah Mada DIY, Prof. Budi Santoso Wignyosukarto, mengatakan banjir tahunan yang menimpa Ibukota Jakarta dapat ditanggulangi apabila semua sektor saling bekerjasama secara terpadu.

“Penyelesaian banjir Jakarta harus dipikirkan bersama oleh berbagai sektor. Kita harus bekerja sama agar terbebas dari penderitaan tergenang air, terhambat kegiatan ekonomi, dan lain-lain,” ujar Pakar Teknik Sumberdaya Air UGM, Prof. Budi Santoso Wignyosukarto, Rabu (22/2).

Penanggulangan banjir menjadi bagian dari pengelolaan sumberdaya air pada satu DAS (daerah aliran sungai) yang harus dilakukan secara terpadu sebab terkait dengan siklus hidrologi, dimulai ketika air hujan jatuh ke bumi, meresap kedalam tanah, menguap, mengalir di permukaan dari hulu sampai ke hilir, hingga tiba di muara sungai dan bercampur dengan air laut.

Dengan begitu, satu kejadian di salah satu bagian, baik di hulu maupun di hilir, akan berpengaruh ke bagian lainnya sehingga banyak sektor yang saling terpengaruh.

“Walaupun Jakarta sudah menormalisasikan sungainya, tetapi bagian hulunya tidak dikendalikan limpasan hujannya, atau Jakarta tidak dapat mengendalikan ekstraksi air tanahnya sehingga subsidence muka tanahnya tidak terkendali, banjir akan tetap terjadi di Jakarta, apalagi bila kapasitas sungainya mengecil,” papar Budi.

Keadaan ini menurutnya akan diperparah ketika elevasi muka air tempat pembuangan air sungai di pantai utara Jakarta, semakin lebih tinggi dari muka tanah Jakarta utara disebabkan penurunan muka tanah yang berlebihan maupun kenaikan muka air laut serta efek perubahan iklim. “Akibatnya, akan semakin kecil kapasitas pembuangan sungai-sungai di Jakarta ke laut, kecuali dibantu oleh pompa,” kata dia.

Banjir dan kekeringan dianggap seperti dua sisi mata uang. Kalau suatu saat jumlah limpasan air terlalu besar dan terjadi banjir, berarti air yang diresapkan ke bumi semakin sedikit sehingga cadangan air di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau juga akan semakin sedikit. Oleh karena itu, perlu keterpaduan antara upaya konservasi dan pemanfaatan air serta pengendalian banjir.

“Kombinasi tanggul dan pompa yang dikenal sebagai konsep polder dapat dipakai untuk mengatasi banjir di beberapa tempat yang elevasi muka air tanahnya lebih rendah daripada muka air laut,” tuturnya.

Pada polder-polder tersebut, proses pengelolaan airnya dipisahkan dari daerah yang mempunyai muka tanah yang lebih tinggi dari muka air laut.

Budi pun melihat di daerah yang sangat landai seperti Jakarta, energi yang mengalirkan air ke muara ditentukan oleh elevasi muka air di hulu dan elevasi muka air di laut, dan kemiringannya sangat kecil.

Karenanya, pada saluran drainase di daerah yang sangat kecil kemiringan energinya, kapasitas saluran dapat ditingkatkan dengan memperlebar saluran bukan memperdalam saluran.

“Semakin padat pemukiman, semakin sedikit daerah resapan atau daerah genangan (untuk menunda air masuk ke sungai) maka akan semakin besar jumlah air yang harus segera dibuang,” demikian Budi.

Laporan: Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Nelson Nafis
Editor: Andy Abdul Hamid