Jakarta, Aktual.com – Pemilukada DKI Jakarta 2017 mendatang tak pelak lagi bakal jadi momen politik amat penting baik di paruh akhir 2016 maupun pada 2017 mendatang.

Bukan saja karena Jakarta merupakan pusat urat syaraf seluruh kepentingan-kepentingan strategis berbagai kelompok digerakkan, tapi juga bakal merupakan “batu loncatan” bagi si pemenang dalam membangun basis-basis kekuatan politiknya untuk mengatur konfigurasi politik berikut calon presiden yang dijagokan, pada Pemilu Presiden 2019 mendatang.

Alhasil, pemilukada DKI Jakarta yang hakekatnya merupakan hajatan lokal kedaerahan, pada perkembangannya justru memiliki bobot politik berskala nasional.

Dalam konstalasi yang demikian, menentukan siapa-siapa calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Satu sama pentingnya dengan partai-partai politik mana saja yang berada di balik pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur. Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnawa alias Ahok, yang semula mendapat dukungan dari Partai Partai Hanura dan Partai Nasdem, posisinya semakin kokoh dengan dukungan resmi dari Partai Golkar.

Dukungan Golkar kepada Ahok harus dibaca dalam perspektif politik yang lebih luas, yaitu ketika terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum partai Beringin itu, merupakan konsekuensi logis bergabungnya Partai Golkar ke dalam pemerintahan Jokowi-JK. Perkembangan politik terbaru tersebut, maka dukungan Golkar terhadap Ahok sebagai calon gubernur pada Pemilukada DKI tahun depan, berarti aliansi strategis Jokowi-Ahok yang semula diikat melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Pemilukada DKI 2012, maka pada Pemilukada DKI 2017 mendatang diikat melalui jalur Partai Golkar. Namun sejatinya persenyawaan politik Jokowi-Ahok berarti tetap dipertahankan dalam menghadapi perhelatan Pemilukada DKI Jakarta tahun depan.

Persekutuan politik Jokowi-Golkar sebenarnya bisa ditelisik sejak Munas Luarbiasa Partai Golkar beberapa waktu lalu, yang menghantarkan Setya Novanto menjadi Ketua Umum baru Golkar menggantikan pengusaha nasional Aburizal Bakri. Dinamika politik pasca Munaslub Golkar dan terpilihnya Setya Novanto sebagai nahkoda baru Golkar, memang berkembang pesat. Selain Golkar secara resmi menyatakan dukungan kepada Ahok, melengkapi dukungan Partai Nasdem dan Partai Hanura yang sudah lebih dahulu menyatakan dukungannya, dalam formasi baru kabinet pemerintahan Jokowi-JK, juga ditandai dengan bergabungnya fungsionaris Partai Golkar, seperti Erlangga Hartarto, menempati posisi strategis sebagai Menteri Perhubungan.

Konstalasi politik yang berlangsung cepat tersebut, nampaknya membuat PDIP jadi keteteran menghadapi kenyataan bahwa Ahok berikut ketiga partai tersebut di atas, selangkah lebih maju dibandingkan PDIP.

Bagi PDIP, saat ini berada dalam posisi dilematis. Meskipun masih berpeluang ikut menyatakan dukungan kepada Ahok, namun bisa dipastikan hal ini akan menghancurkan reputasi dan kredibilitas politiknya. Karena ketika akhirnya pun bakal mendukung pencalonan Ahok, ibarat sebuah perusahaan, kepemilikan sahamnya hanya minoritas belaka alias pelengkap penderita. Karena harga tawar politik tinggi terhadap Ahok ada di tangan Golkar, Nasdem dan Hanura.

Maka, langkah yang lebih masuk akal bagi PDIP adalah memunculkan calon lain, untuk menantang Ahok pada Pemilukada mendatang. Namun di sinilah Megawati dan PDIP jadi pusing tujuh keliling. Karena figur harus dimunculkan selain punya reputasi bagus dan terpuji di mata masyarakat Jakarta, dan punya rekam jejak yang cukup jelas sebagai seorang pemimpin, yang tak kalah penting adalah, mendapat simpati luas dari kalangan masyarakat Muslim.

Buat menentukan hal ini, bukan kerja gampang buat PDIP. Begitupun, beberapa kombinasi mungkin saat ini sedang dalam pertimbangan di internal PDIP, khususnya di lingkar dalam kekuasaan Megawati. Dalam kalkulasi politik para sekondan politik Megawati, saat ini Partai Gerindra lah satu-satunya partai yang secara jelas mengajukan Sandiaga Uno sebagai bakal calon gubernurnya. Sedangkan sampai tulisan ini dibuat, meski beberapa nama bermunculan dalam wacana pencalonan, namun belum ada satupun partai yang  memastikan dukungan terhadap kandidatnya.

Sehingga meski Gerindra sudah memastikan Uno sebagai bakal calon, namun masih menunggu sinyal dari partai-partai lain seperti Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), dan PDIP. Adapun PKS nampaknya bisa dipastikan sedari awal akan bersenyawa dengan Gerindra.

PDIP sendiri, secara emosional sebenarnya berkeinginan untuk mengusung Djarot Saiful Hidayat, wakil gubernur Petahana, mengingat dirinya memang kader ideologis PDIP sejak awal. Namun berdasarkan kondisi obyektif yang ada, para ahli strategi PDIP pun pastinya meragukan popularitas maupun elektabilitas Djarot di kalangan masyarakat Jakarta.  Sehingga kalaupun dimunculkan, Djarot hanya sebagai calon wakil gubernur.

Maka, harus memunculkan calon penantang Ahok yang punya bobot ketokohan yang cukup kuat di masyarakat, namun kalau bisa dari basis PDIP itu sendiri. Di sinilah figur Walikota Surabaya Rismaharini menjadi sebuah pilihan yang cukup logis dari pihak PDIP. Pertanyaannya, mungkinkah hal itu dilakukan? Menjawab hal ini, sepenuhnya ditentukan oleh konstalasi dan dinamika politik internal PDIP itu sendiri, dan tentu saja ketua umum partai Megawati, sebagai kata akhir dan akhir kata. Namun demikian, betapapun strategi memunculkan Risma sebagai penantang Ahok memang masuk akal dan satu-satunya yang cukup memberi peluang untuk mengimbangi popularitas dan elektabilitas Ahok, namun tetap saja hal ini ibarat “Berjudi Dengan Nasib.” Artinya, langkah yang diambil sangat spekulatif dan untung-untungan.

Salah satu faktor penyebabnya tentunya adalah, soal siapa calon wakil gubernur yang diusung PDIP mendampingi Risma, jika walikota Surabaya ini nantinya diusung PDIP. Salah satu yang potensial dan masuk akal untuk digandeng, tentu saja adalah Sandiaga Uno. Sehingga persekutuan strategis PDIP-Gerindra menjadi landasan politik untuk menantang Ahok.

Meski demikian, masih jadi tanda-tanya, apakah Partai Demokrat, PAN dan PKB setuju dengan formasi politik tersebut. Jika setuju, maka pertarungan bakal mengerucut pada head to head antara Risma versus Ahok. Sehingga tidak perlu adanya calon ketiga, yang justru berpotensi memecah suara di kubu para penantang Ahok.

Salah satu skenario lain adalah, Demokrat-PKB-PAN menolak pasangan Risma dan siapapun yang jadi pendampingnya, sehingga ketiga partai tersebut mengusung kombinasi calon yang berbeda. Salah satu yang kemungkinan sedang diperhitungkan implikasinya baik positif maupun negatif adalah bagaimana kalau memunculkan mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli, yang kebetulan sewaktu menjabat menteri, secara terbuka menentang diteruskannya Proyek Reklamasi Teluk Jakarta.

Ketika misalnya Rizal Ramli didukung Demokrat-PKB-PAN, maka menjadi menarik mencermati sikap Gerindra. Akan lebih condong berduet dengan Risma yang diusung PDIP atau mendukung Rizal Ramli yang mengusung PKB-Demokrat-PAN? Dalam konstalasi politik saat ini, hubungan dan komunikasi politik Rizal Ramli dengan Demokrat maupun PKB cukup terjalin dengan baik. Begitupula dengan PAN, meski tidak sesolid dengan Demokrat dan PKB, namun komunikasi politik atas dasar kesepakatan strategis, akan dengan mudah terjalin.

Bila demikian skenarionya, berarti dalam desain awalnya, Pemilukada DKI Jakarta memang dikembangkan ke arah kemunculan tiga calon. Formasi politik semacam ini, sangat mengkhawatirkan bagi kubu penantang Ahok baik yang dimotori oleh PDIP maupun Demokrat-PAN-PKB.

Jika pencalonan akan mengercut katakanlah antara Risma-Uno atau Risma-Djarot, Ahok-Wahy, dan Rizal Ramli-Uno, maka keuntungan politik ada di tangan Ahok. Karena besar kemungkinan, suara kubu penantang Ahok yaitu pasangan Risma-Djarot atau Rizal Ramli-Uno, bakal terpecah suaranya bahkan pada putaran pertama. Sehingga besar kemungkinan Ahok akan memenangi pemilukada DKI di putara pertama.

Menurut saya, kalau mau serius gagalkan kemenangan Ahok, munculkan sebuah pasangan calon yang tidak akan memecah suara di kubu sendiri. Bahkan kalau bisa, ajukan calon pasangan yang justru memecah suara di kubu Ahok itu sendiri.

Berpolitik itu harus cerdas dan dingin, tidak boleh emosional atau menbawa-bawa perasaan.

Hendrajit

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit