Perlunya Strategi Kebudayaan

Tetapi, kalaupun pada saat ini kita merasa terdapat bantalan kebudayaan yang kurang kondusif ke arah perkembangan iptek, itu tidak berarti bahwa tidak ada jalan ke arah revitalisasi. Sebab kebudayaan sendiri adalah suatu proses belajar. la mesti bersifat dinamis dan terbuka (Peursen, 1976; Noerhadi, 1994). Terlebih lagi, ketika teknologi komunikasi memungkinkan terjadinya peningkatan relasi inter-kultural yang semakin intensif dan ekstensif, dan tanpa dibatasi oleh hambatan-hambatan ruang dan waktu, maka horizon belajar itu semakin luas. Sehingga memungkinkan kita untuk meramu komposisi-komposisi kebudayaan umat manusia.

Upaya revitalisasi serupa itu bukan belum pernah dilakukan. Kuntowijoyo (1994), misalnya, memberi contoh adanya gerakan pembaruan budaya pada awal abad ke-20, yang dipelopori oleh kaum priyayi berpendidikan Belanda. Di tengah-tengah kebudayaan lama dan politik kebudayaan kolonial, kalangan ini mengumandangkan gerakan kemajuan, menganjurkan kebudayaan berpikir ilmiah, mengganti interpretasi-interpretasi magis dengan penjelasan yang rasional. Penjelasan lama tentang gerhana bulan, misalnya, diruntuhkan oleh argumen-argumen ilmiah.

Sementara, semangat modernisme Islam seperti ditunjukkan oleh Muhammadiyah, juga secara menggelora memaklumatkan “perang” terhadap bid’ah dan khurafat. Cita-cita kemajuan dan kebudayaan rasional, kemudian tumbuh menjadi kebudayaan kritis. Di sinilah tata cara masyarakat organistis, terencana dan de-mokratis, telah dirintis. Sesuatu yang telah memberi andil besar dalam membentuk gugus baru masyarakat yang menjadi bantalan vital dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

Sayangnya, evolusi kebudayaan tidak selalu berjalan lurus dan bersambung. Munculnya trauma-trauma politik di penghujung Orde Lama, telah melahirkan “bayi traumatik” Orde Baru dengan mekanisme defensifnya berupa negara yang kuat, birokratisasi yang eksesif, dan meluasnya depolitisasi. Ini semua harus dibayar dengan melemahnya civic culture, mengendurkan social learning, dan melambatnya kreativitas berpikir.

Konsekuensi lebih lanjut dari semua itu adalah munculnya apa yang disebut Ogburn dengan “cultural lag”, yakni tercecernya gerak perkembangan sistem budaya (non-material) dari dinamika pembangunan material (dalam Nagai, 1993, h. 259-260). Yang berlangsung kemudian adalah suatu perkembangan industrialisasi dan adopsi teknologi, tanpa didukung oleh sistem budaya industrial dan saintifik.

Kita dapati di sini, sementara industrialisasi yang sehat perlu didukung iklim budaya yang berorientasi pada prestasi (merit), yang berkembang justru masih dominannya pertimbangan-pertimbangan askriptif (nepotisme). Sementara industrialisasi dan promosi teknologi hanya bisa tumbuh secara baik dalam situasi budaya yang memacu kompetisi, yang berjaya di sini justru praktik-praktik monopolistik dan kolusif. Sementara perkembangan ilmu yang subur perlu dilandasi semangat kolegial, sikap kritis, dan dialog-dialog inter-kultural, yang dipupuk di sini justru sikap-sikap feodal, anti-kritik, dan kecenderungan nepotis.

Mempertimbangkan hal itu, sudah saatnya kita menyadari bahwa pengembangan teknologi, baik untuk alasan kemakmuran ataupun demi mencegah dampak negatifnya, tidak bisa ditundukkan hanya pada prinsip-prinsip keteknikan atau rasio instrumental semata, tetapi sudah seharusnya ditarik ke jangkar sosio-kultural tempat dialog-dialog konsensual dilakukan. Teknologi terlalu berharga untuk diserahkan hanya pada segelintir elite politik, komersial, dan keilmuan. Untuk itu, sudah seharusnya kita semua melibatkan diri di dalamnya. Seseorang tidak perlu berlatar sains dan teknologi untuk mengenali betapa sentralnya peranan teknologi dalam kehidupan kita.

Jelaslah di sini bahwa, yang diperlukan sekarang adalah suatu komitmen semua pihak untuk melakukan revitalisasi kebudayaan yang sesuai dengan tuntutan penguasaan iptek. Itu berarti, kebudayaan sebagai proses belajar perlu ditransformasikan dari suatu model budaya ke model yang lain, dengan pendekatan tertentu yang dilakukan secara sadar dan terencana. Dengan kata lain, manusia Indonesia perlu dijadikan sadar akan kebudayaan, dan ini berarti bahwa ia secara aktif harus turut memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh kebudayaan, dalam rangka mendorong perkembangan iptek. Singkatnya, yang kita perlukan sekarang adalah suatu strategi kebudayaan.

Untuk merencanakan suatu strategi yang adekuat, kita agaknya perlu mempertimbangkan beberapa hal penting. Pertama, strategi kebudayaan dimaksudkan untuk menghadapi masa depan dengan segala masalah dan tantangannya. Karena itu, ia harus berorientasi ke depan. Warisan budaya perlu dihargai. Tetapi, agar warisan tersebut dapat menunjukkan maknanya bagi kehidupan masyarakat kontemporer, maka perlu dibuat tafsiran-tafsiran kreatif, beserta kemungkinan penyempurnaannya lewat proses belajar inter-kultural.

Kedua, strategi kebudayaan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karena itu, upaya pembangunan iptek sebagai fenomena kerja kebudayaan, secara kualitatif harus mampu meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani dan rohaninya secara adil dan merata.

Ketiga, seperti dikatakan Soerjanto Poespowardojo (1993), penyusunan suatu strategi perlu dibuat dengan persepsi budaya yang komprehensif, yang mempunyai cakupan yang luas atas perikehidupan masyarakat Indonesia. Cakupan yang luas itu secara ringkas menyangkut semua faktor budaya yang terdiri atas manusia (anthropos), lingkungan (oikos), alat (tekne) dan komunitas (ethnos).

Anthropos adalah manusia secara individual sebagai faktor sentral dari kerja kebudayaan. Ia bukan saja sebagai pendukung dan pencipta iptek. Karena itu, aspek-aspek kognitif, efektif, dan konatifnya perlu dipupuk dan dikembangkan lewat suatu strategi pendidikan dan pembudayaan yang sesuai dengan tuntunan zamannya.

Oikos adalah universum kosmis, suatu lingkungan hidup di mana manusia menjalankan proses pembudayaannya. Lingkungan ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana bagi kelangsungan hidupnya, melainkan juga sebagai medan yang memungkinkannya berjuang untuk hidup melalui karya-karyanya. Karena itu, dalam segala upaya pengembangan iptek, penting untuk memperhatikan keselarasan hubungan serta menjaga kelestariannya.

Tekne adalah peralatan yang digunakan untuk mengerjakan dunia iptek. Tetapi lebih dari sekadar alat, dalam perkembangan selanjutnya tekne juga mengandung muatan-muatan nilai dan sikap tersendiri. Harus dijaga agar pengembangannya tidak mendegenerasikan martabat manusia hanya menjadi sekrup dari suatu tekno-struktur. Karena itu, pemahaman terhadap nilai-nilai etis dan estetis sebagai bingkai dari pengembangan iptek, perlu dipertimbangkan secara seksama.

Sementara ethnos, yang berarti komunitas, menunjukkan bahwa upaya pengembangan iptek sebagai salah satu kerja budaya merupakan hasil interaksi antarpribadi yang tergabung dalam masyarakat. Setiap intuisi, interpretasi, dan karya individu yang bagaimanapun juga unik dan orisinalnya, akan hilang lenyap kalau tidak ditampung dalam dukungan kolektivitas, diartikulasikan dalam keterjaminan yang organis, serta dibudayakan sebagai warisan dan komitmen bersama. Itu berarti, upaya-upaya pengembangan iptek mesti mendapatkan iklim sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan informasi yang kondusif, sejalan dengan dinamika yang ada.

Semua variabel dari strategi kebudayaan itu perlu diperhatikan agar bangsa Indonesia bisa mereguk dua hal sekaligus: daya-dukung budaya bagi pengembangan iptek, dan pendedikasian iptek itu sendiri bagi pengembangan budaya dan peningkatan kesejahteraan rakyat. (bersambung)

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual