Kalau diibaratkan industri, yang namanya pilpres atau pilkada tingkat provinsi sampai kabupaten dan kota, maupun pilkades di tingkat desa, momentum politik tersebut tak ubahnya kayak pabrik. Betapa tidak. Suara rakyat bisa dipesan, bahkan dibeli secara massif dan terstruktur.

 

Lebih menakjubkan lagi, melalui industri demokrasi dan pabrik itu kemudian membidani money politics, berita-berita bohong alias hoax, konflik komunal entah antar suku atau antar aliran di dalam agama, atau benturan antar golongan.

 

Melalui industri demokrasi yang kemudian menjelma jadi pabrik di bidang manufaktur politik maka lahirlah jabarannya seperti saling bully di media sosial maupun kampanye hitam atau black propaganda. Lantas, apa core business dari industri demokrasi tersebut? Tiada lain adalah korupsi.

 

Hal ini semakin diperkuat kenyataan bahwa model pemilu sekarang ini bertumpu pada kekuasaan para pemilik modal atau yang dalam teori politik disebut Plutokrasi. Ketika pemilu perlu modal besar, maka siapapun pemenang pemilu harus patuh dan tunduk pada arahan kebijakan-kebijakan strategi kaum Plutokrasi tersebut.

 

Ketika para kontestan pemilu baik skala nasional maupun daerah, eksekutif maupun legislatif, harus selaras dan sesuai dengan hasrat dan kepentingan para Plutokrat(pemilik modal besar), maka di sinilah muasal lahirnya Korupsi Sosial-Politik.

 

Alhasil, di ranah publik berkembang cara pandang dan pola pikir yang salah-kaprah dalam mendiagnosa krisis nasional saat ini. Seakan-akan, korupsi adalah akar soal. Cara pandang dan pola pikir macam apa yang salah kaprah tersebut?

 

Pertama. Korupsi dipersepsikan sebagai akar penyakit bangsa dan dipandang sebagai penyebab hulu kegaduhan. Padahal, korupsi hanya residu atau hilir dari sistem politik itu sendiri yang hekekatnya memang koruptif.

 

Kedua. Aparat KPK yang didesain sebagai aparat penegak hukum rentan atau berpotensi untuk dijadikan alat kekuasaan. Sehingga cenderung tebang-pilih dalam proses penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi para pejabat public.

 

Ketiga. Selalu dimunculkan demonology, atau menakut-nakuti masyarakat dengan maksud jahat. Seperti  membangun stigma bahaya Islam Radikal, anti pluralisme,  yang mana arahnya selain menggiring persepsi publik agar melalui demonologi itu dikembangkan opini atau tudingan bahwa Islam radikal itulah  biang kegaduhan dan kekisruhan.

Begitulah. Rekayasa sistematis disusun untuk memproduksi “sesuatu” di masyarakat. Dan sesuatu itu bisa berujud musuh bersama (common enemy) untuk memicu nasionalisme, atau cuma pengalihan isu belaka, atau sekadar memproduksi rasa takut, kekhawatiran, kecemasan, dan lain-lain.

 

Namun substansi demonologi politik ialah untuk mengalihkan kegagalan dan atau menutupi kelemahan sebuah rezim. Itu inti poinnya. Hanya sekadar sarana pengalihkan isu atas permasalahan pokok bangsa, dan lain-lain.

 

Bahkan kalau dicermati secara jeli, kegaduhan tersebut tidak menyentuh sama sekali ke (solusi) permasalahan bangsa. Misal, ketika persoalannya adalah rupiah anjlok di mata US Dollar dan berdampak langsung meningkatnya jumlah utang, tetapi topik yang diviralkan justru tentang Banser; atau Indonesia kini dirundung soal impor berlimpah, sehingga menggerus devisa dan merugikan petani.

 

Namun yang dikembangkan  malah isu politik identitas; ketika kita tengah menghadapi lapangan kerja sempit di satu sisi, sementara TKA membanjir di sisi lain, tetapi publik dihebohkan soal isu korupsi, anti-ini, anti-itu dan lain-lain. Inilah demonologi politik yang kurang nyambung.

 

Pertanyaan pun muncul, “Apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa diuntungkan dengan ketidakyambungan dan keterbelahan sosial seperti ini?” Juga, hal-hal di atas termasuk isu sentimen di Garut yang sempat  viral beberapa waktu lalu?

 

Menurut saya gagasan dasarnya dalah politik devide et impera ala kaum penjajah tempo dulu. Pecah-belah lantas kuasai. Pada tataran ini, menarik menyimak analisis M Arief Pranoto, Direktur Pengkajian Geopolitik dan Studi Kewilayahan, Global Future Institute.

 

Menurut Pranoto, apabila kita menengok sejarah terbelahnya Mataram menjadi dua kerajaan–Solo dan Jogja–karena Perjanjian Giyanti (1755), mungkin, itulah sejarah terpecahnya Nusantara kali pertama akibat mainan (devide et impera) oleh asing/kaum kolonialis.

 

Di sinilah kita sebagai anak bangsa harus merenungkan pengalaman sejarah yang pahit ini. “Mungkinkah sejarah pecah-belah terhadap Mataram   berulang kembali?” Artinya, akan ada pola yang sama meski aktor, waktu, dan kemasannya berbed. Jika memang ada desain devide et impera ala Belanda terhadap Mataram pada 1755 lalu, lantas apa bentuk perulangan keterpecahan bangsa di era kini?

Menurut Pranoto untuk menjawab itu, perlu beberapa petunjuk awal lebih dulu untuk kita jawab. Pola yang mana yang bisa dianggap sama? Sarana apa yang digunakan untuk memecah-belah? Siapa saja proxy agents atau agen-agen perpanjangan tangan asing untuk menjalankan skenario pecah-belah itu?

 

Pertama: Pola yang sama. Tak bisa dipungkiri, pola yang dipraktikkan asing ialah mengadu-domba golongan yang dianggap representatif  dan mengakar dan atau mewakili bangsa.

 

Apabila di zaman Mataram dulu yang dibenturkan ialah sesama kaum ningrat atau kerabat kerajaan karena kaum tersebut dinilai tempat lahirnya para elit politik, para perumus serta pengambil kebijakan, mempunyai massa militan (sendiko dawuh), punya pengaruh dan akses kemana-mana, dan seterusnya. Nah, di era kini yang dipecah belah golongan mayoritas dengan berbagai modus dan cara. Berarti, Islam lah sasaran pokok untuk dipecah-belah.

Kedua: Sarana adu domba. Apabila di masa Mataram alat pemecahnya melalui Perjanjian Giyanti guna membelah bangsa menjadi dua kerajaan di Solo dan Jogja hingga sekarang, di era kini melalui pemilu pilihan langsung (pilsung) bermodel one man one vote.

 

Ibarat permainan biliard, bagi penjajah, model pilsung ini seperti sodokan efek (cleket, kata orang Jawa) mengenai dua bola bahkan lebih, yaitu selain rakyat abai terhadap nilai-nilai leluhur seperti musyawarah mufakat, gotong royong dan lain-lain, tercabut dari budaya dan akar sejarah, juga yang paling utama bahwa bangsa ini terbelah menjadi dua kubu yang saling berhadapan secara masif (pro ini versus pro itu), Kampret melawan Cebong. Dan seterusnya.

 

Ketiga, siapa proxy agents. Jika di zaman Mataram sosok dimaksud ialah PB lll, sedang di era kini masih sulit dan berat untuk dijawab, karena selain proses tersebut tengah berjalan, juga tidak etis menyebut nama-nama kecuali dalam forum sangat terbatas.

 

Inilah tipuan industri demokrasi ala Barat yang ide dasarnya dari awal sejak Pemilu 1999 adalah untuk menciptakan “demokrasi jadi-jadian.”

 

Bahwa antara Perjanjian Giyanti dengan Pemilu bermodel one man one vote sejatinya satu tarikan nafas, yakni nafas devide et impera. Adu domba sesama anak bangsa.

 

Dalam situasi krusial saat ini, ada baiknya kita kembali mempertimbangkan local wisdom atau kearifan lokal, atau warisan pengetahuan nusantara dari para leluhur. Musyawarah untuk Mufakat yang dituntun oleh hikmah para ulama dan pemuka adat istiadat masing-masing daerah, sudah saatnya untuk jadi aktor-aktor baru di pentas politik nasional.

 

Untuk memainkan peran baru sesuai skenario baru. Kembali ke UUD 1945 asli dan mempraktekkan Pancasila sebagai dasar falsafah negara secara paripurna. Inilah skema revolusi yang kiranya tepat sebagai fondasi untuk melumpuhkan skema demokrasi liberal yang berlangsung sejak pemilu 1999 pasca reformasi hingga kini. Yang mana para elit politik dan politisi partai baik di eksekutif maupun legislatif pusat maupun daerah, bukan merupakan utusan aspirasi rakyat yang sejati.

Industri demokrasi telah telah menghancurkan sistem politik sebagai jembatan penghubung antara pemimpin dan rakyatnya.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.