Oleh: Hendrajit
Hendrajit

Jakarta, Aktual.com — Pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak mewajibkan tenaga keja asing bisa berbahasa Indonesia, memang cukup sensitif dan mengundang kontroversi. Karena yang kontan ada di benak masyarakat, pastinya hak istimewa tersebut dialamatkan kepada tenaga-tenaga kerja asing dari Tiongkok.

Hal ini mengingatkan kita pada awal 1990-an, ketika Sukamdani Sahid Gitosarjono (Ketua Lembaga Kerjasama Ekonomi Sosial Budaya Indonesia-Cina/LKESBIC) pernah menjanjikan kepada pemerintah Tiongkok agar mencabut larangan penggunaan huruf Tiongkok di Indonesia. Gagasan yang dilontarkan Jokowi maupun Sukamdani pastinya akan mengundang kontroversi selain karena sensitif, keduanya terkesan bermaksud mengambil hati pemerintah Tiongkok.

Bedanya, kalau gagasan Sukamdani pada dekade 1990-an lalu dalam rangka memuluskan para pengusaha Indonesia (baca: non pri) berinvestasi di Tiongkok, maka gagasan Jokowi untuk tidak mewajibkan para tenaga kerja asing bisa bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk mengambil hati pihak Tiongkok yang beramai-ramai akan investasi ke Indonesia berikut modal, pabrik dan tenaga kerjanya sekaligus dalam satu paket.

Adanya temali antara pemerintah Tiongkok daratan di Beijing dan para taipan rantau yang bermukim dan kaya raya di Indonesia, agaknya yang membuat isu bahasa Indonesia dan huruf Tiongkok jadi soal yang sensitif hingga kini. Apalagi, para pemain kunci yang merajut kerjasama bilateral Indonesia-Tiongkok di era Jokowi-JK ini praktis merupakan para taipan yang merintis gerakan tanam modal ke daratan Tiongkok pada era 1990-an.

Sejak Desember 1992, Liem Soe Liong, pemilik Salim Group, mulai membangun pondasi dari gerakan tanam modal di Tiongkok, dengan mendirikan Yuan Hong Industrial Park (YHIP) di tanah kelahirannya, Fukian. Bersama 5 perusahaan dari Singapura, Salim Group membentuk Singapore Pacific Management Service Pte.Ltd (SPMS), yang akan mengelola dan memasarkan YHIP.

Salim Group, melalui anak perusahaannnya Hegemeyer Pacific Corporation Ltd, menguasai 40 persen SPMS. Bahkan Liem, sebelummnya juga telah membangun pabrik mie di Tiongkok, dengan investasi sekitar 1 juta dolar AS.

Selain itu, Liem rupanya juga memperluas jaringan bisnisnya di Tiongkok, melalui Rong Chiao Industrial Group (kelompok sekitar 30 pengusaha asal Fujian yang kini bermukim di beberapa negara). Melalui Rong Chiao Industrial Group ini pula, Liem punya andil dalam berbagai proyek di Tiongkok.

Jadi bisa dibayangkan, jika dalam kerjasama ekonomi-bisnis Indonesia-Tiongkok saat ini, jaringan yang dirintis Liem melalui YHIP maupun Rong Chiao Industrial Group, ikut mempengaruhi arah kebijakan strategis Indonesia-Tiongkok dari belakang layar.

Apalagi, di Rong Chiao Industrial Group ini, pada perkembangannya kemudian dikenal sebagai “Fujian Clan”, yang mana di dalamnya bergabung beberapa pengusaha Indonesia keturunan Tiongkok seperti Djuhar Sutanto (Liem Wen Ching), Setyo Utomo dan Hendrik Honosutomo. Adalah Fujian Clan juga, yang antara lain memiliki Guan Yuan Light Industry, pabrik sepatu dan bunga kain sutera yang terletak di Shangzeng Honglu. Hasilnya diekspor, antara lain ke Indonesia.

Jaringan taipan lainnya yang harus diperhitungkan di belakang kerjasama Indonesia-Tiongkok adalah Eka Cipta (Oei Ek Tjong) berikut Sinar Mas Group. Eka sejak Juni 1992 mengambil 55 saham perusahaan kertas pemerintah Tiongkok di Ling Po, yang berkapasitas 50.000 ton per tahun.

Anak Eka Cipta, Oey Hong Liong, bahkan sudah menanamkan modal sekitar 1 juta dolar AS. Eka Cipta dan Sinar Mas juga mengambil alih 101 BUMN Cina. Kantor Sinar Mas di Hongkong yang menangani pengambil-alihan ini, menyediakan dana sekitar 175 ribu dolar AS. Namun, Eka Cipta di Tiongkok tidak mengibarkan bendera Sinar Mas Group. Melainkan melalui putranya, Oei Hong Leong yang berwarganegara Singapura, mengibarkan bendera: China Strategic Investment (CSI) yang berbasis di Hongkong.

Maret 1993 misalnya, CSI menanamkan 175 juta dolar AS untuk konsesi 50 tahun menjalankan 101 perusahaan BUMN di Dalian, Timur Laut Tiongkok. Suatu kesepakatan bisnis terbesar dalam menangani perusahaan BUMN yang pernah dilakukan oleh perusahaan Hongkong.

Cerita tentang Mochtar Riyadi dan LIPPO Group, bahkan lebih spektakuler lagi sepak-terjangnya di Tiongkok. Lippo bekerjasama dengan mitra lokal, menanam modal sebesar 11,85 juta dolar Hongkong di Fujian. Rupanya, Fujian juga merupakan tanah leluhurnya Mochtar Riyadi.

Mochtar Riyadi yang nama aslinya adalah Li Wen-zheng ini, melalui Lippo membangun berbagai infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara dan perumahan. Proyek-proyek ini dibangun di kota Fuzhou, ibukota propinsi Fujian.

Berita Asian Business edisi April 1993 mewartakan, bersama investor Taiwan, Lippo menggarap proyek di pulau Mei Zhou. Dengan porsi 60 persen saham. Patungan ini membangun kawasan peristirahatan mewah. Tahap pertamanya memakan biaya sekitar 40 juta dolar AS.

Juga pada April 1993, di propinsi Shandong, Lippo juga punya proyek. Bersama pemerintah setempat, membangun infrastruktur senilai 350 juta dolar AS. Di sini, Lippo bertanggungjawab untuk mengordinasikan konsorsium untuk memobilisasikan dana sebesar 300 juta dolar AS.

Melalui serangkaian fakta-fakta tersebut, Riyadi dan Lippo nampaknya yang paling agresif menanam modal di Tiongkok, tanah leluhurnya. Sedemikian rupa, sehingga tak mudah untuk merinci semua investasi Lippo di daratan Tiongkok. Bahkan terbetik kabar Lippo mengadakan rencana peraturan pendirian bank secara offshore dengan menyetor modal sebesar 50 juta dolar AS. Selain itu, Lippo juga membeli kawasan seluas 135 ribu kaki persegi di atas rencana stasiun bawah tanah di Guangzho.

Di sektor keuangan, Lippo juga mulai menanamkan pengaruhnya di daratan Tiongkok. Lippo mendirikan perusahaan sekuritas dI Shenzen dan Shanghai, melalui pembelian The Nanhai Commercial Bank.

Menurut catatan Tim Riset Aktual, modal para konglomerat Indonesia yang dipertaruhkan di tanah leluhurnya di daratan Tiongkok, mencapai triliunan rupiah. Bahkan melebihi investasi Tiongkok yang masuk ke Indonesia.

Liem Soe Liong, industrinya berbasis di kawasan Fujian, tanah kelahirannya. Mochtar Riyadi, di propinsi Shandong, atau lebih dikenal dengan kawasan Fuzhou. Dan investasi yang dilakukan, umumnya berupa investasi jangka panjang, dan tidak mengejar keuntungan jangka pendek.

Tak pelak lagi, strategi ini diterapkan atas dasar ikatan emosional dengan tanah leluhurnya, tanpa mengesampingkan aspek keuntungan bisnisnya itu sendiri. Liem membangun kota kelahirannya Fuqing menjadi kawasan industri. Mochtar Riyadi membangun proyek turisme dan infrastrukturnya di Putian. Eka Cipta membangun kerajaan industrinya di Quanzhou.

Menyadari begitu eratnya temali antara pemerintah Tiongkok daratan di Beijing dan para taipan yang sudah mukim di Indonesia puluhan tahun, bisa dimengerti jika isu bahasa Indonesia dan huruf Tiongkok jadi masalah yang amat sensitif di tanah air.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit