Jakarta, Aktual.com – Pada 1961 kala Mao Zedong masih memimpin China, 10 juta petani di Provinsi Anthui, China Timur dilanda kelaparan. Penyebabnya, kapasitas produksi pertanian di wilayah itu lemah sekali. Solusi sesaat kemudian muncul dari Zeng Xisheng, Sekretaris Partai Komunis Provinsi Anthui. Yaitu menggenjot produksi pertanian lewat pembagian sebidang tanah komunal kepada petani.

Seraya diberi kebebasan melakukan penanaman kepada petani dengan mengandalkan pada keputusan lembaga keluarga. Bukan komune. Namun sebagian hasilnya diserahkan kembali ke konune. Rupanya dari pengalaman pahit kejadian pada 1961 itu, bukan saja Zeng yang merasa ada yang tidak beres dengan penerapan sosialisme yang bertumpu pada sistem kolektif semacam itu.

Deng Xiaoping (1904-1997) yang kelak menggantikan Mao Zedong pada akhir 1970-an, secara jeli melihat ada sesuatu yang lebih substansial di balik terjadinya wabah kelaparan di Provinsi Anthui itu. Maka dari kejadian itulah kemudian terkenal ungkapannya yang provokatif: “Saya tidak peduli apa itu kucing putih atau kucing hitam,” ujar Deng yang kala itu masih menjadi anggota politburo Partai Komunis China yang menangani berbagai kebijakan dan implementasinya.

“Sejauh kucing itu bisa menangkap tikus, berarti itu kucing yang baik. Tak penting dia itu sosialis atau kapitalis. Yang penting dia bisa menggenjot produk pertanian untuk mengakhiri bencana kelaparan tersebut.”

Agaknya dalam benak Deng, yang sejatinya juga seorang sosialis dan Marxis tulen, merasa terusik bagaimana mungkin sosialisme dan komunisme yang katanya untuk menyejahterakan rakyat miskin,kok bisa-bisanya malah dilanda wabah kelaparan.

Sayangnya pada 1961 itu, pandangan dan gagasan Deng dianggap angin lalu, bahkan lebih buruk lagi, dipandang kontra revolusioner dan pendukung kaum  borjuis kapitalis. Apa memang benar begitu?

Tidak juga. Buat Deng, membangkitkan China dari keterpurukan nampaknya jadi agenda strategis dan prioritas. Dan sektor pertanian dalam pandangannya, yang utama harus diberdayakan. Sebab menurut Deng, selama dua dasawarsa antara 1958-1978, perekonomian China jalan di tempat. Tidak berkembang sama sekali.

Kegelisahan dan ketajaman analisis Deng rupanya secara jeli terbaca oleh Zhou Enlai,  mentor politik dan ideologi Deng. Maka atas rekomendasi dan desakan Zhou kepada Mao. Deng kembali berikiprah di ring satu politburo Partai Komunis pada 1973.

Setelah kesehatan Enlai makin memburuk, Deng semakin aktif sejak 1975 menangani berbagai urusan nasional. Bahkan pada Desember 1978, dalam pidatonya di depan sidang pleno Komite Sentral Partai, Deng mendesak agar dalam menerapkan sosialisme di China, tidak lagi bertumpu pada perjuangan kelas. Melainkan memodernisaskan masyarakat sosialis. Alhasil caranya bukan dengan meminggirkan, melainkan merangkul kelompok-kelompok yang berbeda.

Gagasan yang Deng lontarkan pada 1978 di sidang pleno Komite Sentral, baru benih. Pada September 1982, gagasanya semakin jelas dan menukik dengan mengangkat tema: Membangun Sosialisme Dengan Watak China.

Menurut Deng, sosialisme itu sendiri ditafsirkan sebagai tahap awal komunisme, dan China sedang berada di fase awal sosialisme. “Kemiskinan bukan sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan. Itulah Sosialisme dengan watak China” kata Deng Xioping. Rupanya wabah kelaparan di Provinsi Anthui duapuluh tahun sebelumnya benar-benar menghantui pikiranya.

Menurut Deng, sosialisme dengan watak China berarti bukan kapitalis juga bukan sosialis sebagaimana yang ada dalam benak para pakar ekonomi politik ketika bermaksud menjelaskan model pembangunan yang diterapkan di China. Yang membedakan secara substansial antara sosialime berbasis perjuangan kelas dan sosialisme dengan watak China ala Deng, nampaknya terletak pada strategi yang diterapkan.

Strategi Deng adalah merangkul dan menggalang kelompok-kelompok yang berbeda di masyarakat sebagai kekuatan-kekuatan produktif yang diyakini bisa membangun masyarakat. Seperti pengusaha, petani, dokter, para staf pengajar perguruan tinggi. Semuanya digalang untuk membangun China modern.

Kalau kita telisik mengapa beberapa pakar ekonomi negara-negara Barat mengistilahkan kebijakan Deng sebagai negara Kapitalis-Sosialis, mungkin karena Deng memang mengambil beberapa etos positif dari masyarakat kapitalis di beberapa negara maju.

Misal, Deng dalam kebijakan ekonominya kemudian, menekankan agar dibeberapa daerah dan perusahaan, dimungkinkan bagi para pekerja dan petani untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan yang lebih besar dibandingkan yang lain, sesuai dengan kerja keras dan kontribusi mereka yang lebih besar terhadap masyarakat.

“Kalau standar hidup beberapa orang lebih maju daripada yang lain, ini akan menjadi contoh yang berkesan bagi tetangga mereka. Sehingga orang-orang di wilayah dan unit lain terdorong untuk belajar dari mereka,” demikian Deng.

Gagasan Deng ini jika kita pelajari di era kekinian harus dibaca sebagai ide orisinil dan jenius. Sekaligus menggambarkan visi kepemimpinannya yang jauh ke depan. Gagasan ini tidak saja tak terbayangkan dibenak Mao Zedong, juga tak terpikirkan dibenak beberapa pemimpinan negara-negara yang menganut faham sosialisme.

Apa kemudian Deng sudah berpindah haluan ke kapitalisme? Sepertinya tidak juga. Justeru sebaliknya, Karl Marx dalam karyanya berjudul Das Kapital, justeru sangat menganjurkan pentingnya berpijak pada kenyataan yang ada dan membumi. Bukannya mengkhayal atau berfantasi.

Bagi Deng, apa yang dia lakukan sejak 1978 adalah bergelut untuk menjawab berbagai masalah yang dihadapi oleh China. Dan mencari solusinya melalui cara-cara yang khas China. Maka itu, untuk mewujudkan pendekatan itu Deng menghindari pendekatan melalui kehendak subyektif maupun interpretasi dogmatis dari Marxisme.

Menolong seluruh sektor perekonomian keseluruhan masyarakat berarti membantu semua orang menjadi makmur dalam waktu tidak terlalu lama. Begitulah tesis sederhana Deng. Maka Deng berpandangan bahwa saat dicanangkannya gagasan Membangun Sosialisme dengan Watak China, mereka sedang berada pada tahap awal sosialisme yang harus dicapai secara bertahap. Untuk itu dimungkinkan adanya pertumbuhan lewat pengelolaan kekuatan-kekuatan produktif.

Oleh sebab dibolehkan adanya pertumbuhan, berarti dibolehkan adanya kepemilikan di luar kepemilikan publik dalam kegiatan kegiatan yang berciri sosialis. Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa di China sekarang bertumbuh perusahaan-perusahaan swasta, dan menghasilkan kekayaan bagi orang-orang yang mengelolanya. Bahkan perusahaan swasta menjadi lokomotif bagi modernisasi ekonomi China.

Gagasan ini kemudian berkembang menjadi teori Deng Xioping, dan diterungkan oleh para penerusnya seperti Zhu Rongji, Zian Zhemin, Hu Jintio, sampai ke Xi Jinping saat ini. Frase kalimat yang selalu diulang-ulang oleh Deng maupun Rongji hingga Jinping, “Cina sedang berada pada fase awal sosialime,” ketika menjelaskan tentang peran perusahaan-perusahaan swasta yang berada di luar lingkup kepemilikan public.

Artinya, kalau boleh disimpulkan, China tidak pernah bergeser jadi negara kapitalis dan penganut pasar bebas. Imannya masih sosialisme. Hanya saja ditujukan untuk membangun Sosialisme ala China. Atau dalam bahasa Deng, Membangun Sosialisme dengan Watak China.

Bagi Indonesia yang saat ini berada di simpang jalan antara larut dalam skema kapitalisme global berbasis korporasi, atau sosialime dengan negara sebagai subyek ekonomi-politik, kiranya bisa menginspirasi diwacanakannya kembali Sosialisme ala Indonesia seperti yang pernah disampaikan Bung Karno.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual