Angka pertumbuhan penggunaan Elpiji 3 kg (subsidi untuk rakyat miskin) meningkat signifikan daripada jumlah angka pertumbuhan rakyat miskin, namun hal ini tidak ditertibkan oleh pemerintah. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dahulu, ketika kolonial Belanda masih mencengkeram nusantara, mereka begitu takut dengan kata-kata. Setiap pribumi yang bersuara kritis kepada Belanda, maka akan dituduh pemberontak dan harus dilenyapkan. Bahkan semua pahlawan-pahlawan yang telah kita kenal hari ini, seperti Diponegoro, Jenderal Soedirman, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pattimura, Imam Bonjol, Sisingamangaraja XII, dan nama-nama pahlawan nasional lainnya, yang hari ini tercatat dan kita kenal sebagai pahlawan, dahulunya mereka juga dikatakan sebagai pemberontak oleh Belanda.

Bahkan tidak hanya dikatakan sebagai pemberontak, tapi mereka juga dikatakan sebagai orang-orang ekstrimis, fundamentalis, dan radikal. Dimana keberadaan mereka saat itu, adalah ancaman bagi pemerintahan Belanda, kemudian Belanda menghasut rakyat untuk membenci dan menjauhi mereka, dan tak jarang yang kemudian mereka ditangkap, dipenjara, dibuang ke pulau-pulau yang baru, dan juga di bunuh. Kemudian setelah berhasil menangkap ataupun membunuh, dengan santai Belanda pun menjelaskan kepada masyarakat pribumi lainnya, bahwa mereka ditangkap ataupun dilenyapkan demi menciptakan perdamaian bagi kehidupan masyarakat.

Orang-orang yang bodoh, tidak memiliki sense of crisis, berakal pendek, bermental budak, dan krisis nasionalisme, praktis mereka akan ngangguk-ngangguk dengan apa yang telah di lakukan oleh Belanda. Kemudian ikut mendukung Belanda dan mencaci maki orang-orang yang tidak setuju dengan Belanda. Bahkan tidak sedikit, orang-orang seperti mereka ini yang pada akhirnya menjadi ancaman paling berbahaya bagi pergerakan kelompok-kelompok pejuang. Sebab tak jarang, orang-orang seperti mereka lah yang kemudian menjadi mata dan tangan Belanda. Mereka melaporkan keberadaan markas para pejuang, dan tak jarang pula ikut menggempur markas para pejuang bersama tentara-tentara Belanda.

Kemudian setelah hilang masa penguasaan Belanda, karena telah diusir oleh para pahlawan dan pejuang-pejuang kita. Datanglah masa orde lama, yang dipimpin oleh bapak proklamator kita, yakni Soekarno. Di masa ini, walaupun dipimpin oleh orang yang notabene ikut membidani bahkan salah satu pelaku utama dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia, namun di penghujung usia kekuasaannya, Soekarno justru menodai jejak perjuangannya sendiri.

Beliau menginisiasi kemudian memproklamirkan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Kemudian beliau juga menangkap serta memenjarakan tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintahannya, bahkan beberapa nama dipenjara begitu saja tanpa melalui proses peradilan. Seperti Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, Buya Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka ini adalah orang-orang yang semasa hidupnya, terkenal sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan Soekarno semasa jadi presiden.

Walaupun secara konsep demokrasi, mengkritik kebijakan pemerintah itu sah-sah saja dan sangat dipahami oleh Soekarno, sebab beliau juga pernah menjadi pejuang demokrasi, khususnya saat memperjuangkan Indonesia merdeka, namun ternyata pada penghujung kekuasaannya, nafsu untuk kekal berkuasa telah menutup kesadaran Bung Karno, hingga akhirnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang cenderung totaliter dan menimbulkan banyak protes di kalangan masyarakat, khususnya aktivis dan kelompok intelektual.

Fakta itulah yang kemudian menodai kepemimpinan Bung Karno. Namun walaupun begitu, orang-orang yang pernah dipenjara oleh Bung Karno tersebut, mereka memaafkan Bung Karno. Dan kita semua juga memaafkan Bung Karno. Tersebab jasanya demikian besar terhadap terbentuknya NKRI. Dan itu juga fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Berakhir masa orde lama, datanglah masa orde baru. Soeharto memimpin, nyaris 32 tahun lamanya. Kekuasaan yang sangat lama itu, telah menginspirasinya untuk melakukan banyak pembangunan, baik itu pembangunan dalam bentuk fisik infrastruktur, maupun pembangunan SDM. Hingga beliau pun kadang disebut sebagai bapak pembangunan. Namun akibat waktu yang terlalu lama berkuasa tersebut, Soeharto pun tak luput dari nafsu untuk bisa kekal berkuasa, cenderung menumpuk harta, dan totaliter.

Orang-orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, cenderung ditekan, ditangkap dan dipenjara. Media-media yang kritis terhadap pemerintahannya, dibredel dan pemrednya ditangkap. Aktivis-aktivis yang kritis, juga ditangkap. Bahkan mubaligh-mubaligh yang ceramahnya ataupun khutbahnya menyinggung pemerintah, maka dia juga ditangkap kemudian dipenjara. Tidak semua memang, tapi jumlahnya cukup banyak.

Sebab orang-orang kritis yang ditangkap tersebut serta media-media yang di bredel itu, juga sekalian dijadikan sebagai model atau ancaman terbuka dari rezim Soeharto, untuk menakuti rakyatnya agar tidak kritis terhadap pemerintah. Sehingga praktis, banyak orang yang saat itu takut untuk bersuara, tidak berani mengkritisi pemerintah. Jangankan secara terbuka, terkadang dalam kamar-kamar di rumah mereka pun, antara suami istri, mereka juga takut untuk membicarakan kekacauan kebijakan rezim Soeharto. Sebab mereka takut intel mendengar percakapan mereka, kemudian mereka ditangkap dan dipenjara.

Semua noda pada rezim Soeharto tersebut, kemudian terakumulasi dalam benak rakyat Indonesia, hingga akhirnya pecahlah peristiwa 98, yakni Reformasi. Sebab orang-orang sudah tidak kuat lagi dengan gaya totaliter Soeharto. Orang sudah tidak kuat lagi menyaksikan konglomerasi keluarga Soeharto dan kroni-kroninya, dan sudah tidak mau lagi dibungkam, sudah tidak mau lagi dibatasi kata-katanya untuk mengkritik pemerintah. Maka pecahlah demonstrasi besar, mahasiswa dan rakyat sepakat menduduki gedung DPR, menuntut reformasi kepemimpinan nasional. Peristiwa ini kemudian kita kenal dengan Reformasi 98. Karena terjadi di bulan Mei 1998, dan tanggal 21 Mei Soeharto mundur. Kemudian tanggal 21 Mei itu kita peringati sebagai hari reformasi.

Setelah Soeharto lengser, datanglah Bachruddin Jusuf Habibie mengisi puncak kepemimpinan nasional. Beliau memiliki beban transisi yang relatif berat, dan kepemimpinan beliau hanya 1 tahun. Dan dalam masa satu tahun itu, situasi demokrasi kita cukup stabil. Kemudian setelah Habibie, datanglah Abdurahman Wahid (Gusdur), masih sama, situasi demokrasi kita masih relatif stabil. Setelah Gusdur, kepemimpinan nasional dipegang oleh Megawati, kemudian diganti oleh Susilo Bambang Yudhoyono hingga 10 tahun lamanya. Dan dalam masa itu, demokrasi kita juga relatif stabil. Tidak terlalu terbuka juga tidak terlalu egaliter memang, namun setidaknya tidak ada penodaan terhadap nilai-nilai demokrasi secara terang-terangan.

Setelah Rezim SBY berakhir, lalu kini muncullah rezim Jokowi. Tokoh satu ini awal kemunculannya banyak mengejutkan publik, diawali dengan cerita keberhasilannya saat memimpin Solo, yang terkesan begitu egaliter dan demokratis. Kemudian dengan modal itu, ia berhasil menduduki jabatan gubernur DKI. Lalu saat menjadi gubernur dia tampak begitu sederhana, masuk gorong-gorong, berpakaian dengan harga yang murah, dan dicitrakan sangat sederhana.

Lalu dengan modal semua itu, dia pun maju sebagai capres pada pemilu 2014 silam. Dan kemunculannya seolah sebagai anti tesis atas elitisme pejabat-pejabat, dan juga dikesankan sebagai kandidat yang tepat untuk menjadi simbol atas kedewasaan dalam berdemokrasi bagi masyarakat Indonesia. Praktis, berkat propagandanya tersebut, jutaan rakyat Indonesia pun terbius. Hingga akhirnya Jokowi pun terpilih sebagai presiden Republik Indonesia.

Namun dalam perjalanannya memimpin Indonesia, ternyata tangan Jokowi panas dan terasa sangat menebarkan energi negatif bagi masyarakat. Sehingga kegaduhan demi kegaduhan sulit dihindari. Bahkan semakin lama terasa semakin mengikis ikatan kebhinekaan kita. Akibat situasi itu, nalar kritis masyarakat pun bangkit. Orang-orang mulai protes terhadap situasi nasional. Kritik demi kritik kepada pemerintah, terus berdatangan. Mahasiswa, cendekiawan, buruh, petani, dan juga para mubalig ramai melancarkan kritik.

Alih-alih mau memperbaiki gaya kebijakan dan gaya kepemimpinannya setelah dikritik, rezim Jokowi justru malah membalas para kritikus dengan penangkapan-penangkapan. Banyak orang-orang yang mengkritik rezim Jokowi, kemudian diganjar dengan penangkapan dan juga dibuatkan berbagai macam peraturan yang tujuannya untuk mengekang kebebasan berpendapat. Rakyat ditakuti dengan berbagai macam Perppu, dan diteror dengan penangkapan terhadap para kritikus. Agar kemudian rakyat tidak lagi berani bersuara mengkritik pemerintah.

Fakta ini pun kemudian sangat tidak sesuai dengan gaya kampanye Jokowi. Sebab pada perjalanannya, rezim Jokowi justru menjelma menjadi rezim yang cenderung anti kritik dan banyak menodai nilai-nilai demokrasi. Apa yang pernah ditentang pada masa penjajahan Belanda, pada penghujung orde lama, dan juga pada masa orde baru, ternyata kini telah dilakukan kembali oleh rezim Jokowi. Seharusnya, semakin kesini demokrasi kita semakin sehat dan dewasa. Namun faktanya ternyata semakin terpuruk. Sungguh ironi sekali.

Jakarta, 24 Mei 2018

Oleh : Setiyono
(Pengkaji Sejarah, Hukum dan Demokrasi)