Mimik wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak serius, ketika ia bersama rombongan mendarat di geladak kapal perang KRI Imam Bonjol, yang sedang berada di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Langit pada Kamis, 23 Juni 2016 itu tidak mendung, namun juga tidak sangat cerah. Mengenakan jaket abu-abu Angkatan Laut, Jokowi menatap peluncur roket anti-kapal selam RBU-6000, salah satu persenjataan utama yang terpasang di korvet kelas Parchim eks Jerman Timur itu.

Kedatangan Jokowi yang tidak biasa ini terjadi, tak lama sesudah insiden antara KRI Imam Bonjol dan 12 kapal nelayan China, yang tertangkap tangan mencuri ikan di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) perairan Natuna, 17 Juni 2016. Waktu itu KRI Imam Bonjol tengah berpatroli dan menerima laporan dari intai udara maritim, mengenai adanya 12 kapal ikan asing yang mencuri ikan.

Saat didekati, kapal-kapal asing itu bermanuver dan melarikan diri. KRI Imam Bonjol pun mengejar dan memberikan tembakan peringatan, namun diabaikan. Kapal TNI AL terpaksa menembak ke udara dan laut, karena kapal-kapal nelayan itu bandel, tidak mau mengikuti instruksi yang diserukan petugas KRI lewat pelantang. Setelah beberapa kali dilakukan tembakan peringatan, satu dari 12 kapal ikan dapat dihentikan. Setelah diperiksa, ternyata kapal itu diawaki enam pria dan seorang wanita, yang diduga berkewarganegaraan Cina.

Kapal-kapal itu mungkin berani berulah, karena keberadaan mereka “didukung” oleh kapal pengawal pantai (Coast Guard) China. Ketika KRI Imam Bonjol menangkap kapal nelayan China, Han Tan Chlou-19038, ia dibayang-bayangi oleh kapal Pengawal Pantai China. Kapal Pengawal Pantai China mengejar dan minta kapal nelayan itu dilepaskan, tapi ditolak oleh petugas di KRI Imam Bonjol.

Upaya Sistematik China

Insiden pencurian ikan oleh kapal-kapal nelayan China ini sudah berkembang semakin serius. Tampaknya ada upaya sistematik dan berkelanjutan oleh China dalam memanfaatkan kapal-kapal nelayan itu, untuk terus-menerus melanggar ZEEI di perairan Natuna. Jika hal ini tidak ditindak tegas oleh Indonesia, lama-lama kehadiran kapal-kapal China itu seolah-olah mendapat pembenaran, sesuai dengan klaim wilayah yang ditegaskan oleh China di Laut China Selatan (LCS).

Sesudah insiden dengan kapal-kapal China ini, Presiden Jokowi tampaknya merasa perlu melihat langsung kondisi di Natuna. Jokowi pun mengadakan rapat terbatas di atas kapal perang KRI Imam Bonjol. Rapat itu dihadiri oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Mulyono, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna, dan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Arie Soedewo.

Hadir juga, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Di atas kapal perang itu, Jokowi menginstruksikan kepada TNI untuk terus menjaga dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Instruksi tertulis Presiden ini untuk menyemangati prajurit TNI AL, yang bertugas di garis depan mengamankan perbatasan Indonesia.

Presiden juga memerintahkan jajarannya untuk fokus meningkatkan keamanan dan perekonomian di wilayah Kepulauan Natuna, sebagai salah satu beranda terdepan Indonesia dan kawasan strategis nasional. “Saya minta kemampuan TNI dan Bakamla dalam menjaga laut harus lebih ditingkatkan, baik dalam hal kelengkapan teknologi radar maupun kesiapannya,” tegas Jokowi.

Pesan yang Jelas Buat China

Kehadiran Jokowi di kapal perang ini mendapat pemberitaan meluas di sejumlah media internasional. Ini merupakan pesan yang jelas kepada China, bahwa Indonesia tegas menolak klaim China dan tidak main-main dengan masalah kedaulatan negara. Namun, bukan berarti Indonesia mau unjuk gigi pada negara-negara di kawasan, karena Indonesia punya hubungan bersahabat dengan China.

Ketegangan antara RI dan China terkait pencurian ikan oleh kapal-kapal nelayan China sudah beberapa kali terjadi, dan tampaknya meningkat pada tahun terakhir ini. Persoalan muncul sejak China mengeluarkan peta Laut China Selatan dengan sembilan garis putus-putus (nine dash lines). Garis itu ditarik berdasarkan klaim sepihak China, yang merujuk sejarah jangkauan para nelayan kekaisaran China pada masa lampau, bukan berdasarkan hukum internasional yang diakui PBB.

Pada akhir Mei 2016, KRI Oswald Siahaan menangkap kapal nelayan China, Gui Bei Yu, di Laut Natuna. Pemerintah China bereaksi keras atas penangkapan itu dan menegaskan, kapal nelayan itu tidak melanggar hukum Indonesia karena berada di wilayah penangkapan tradisional China.

Di kapal Gui Bei Yu itu ditemukan peta yang menunjukkan Laut Natuna, termasuk Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas, dalam wilayah penangkapan tradisional (traditional fishing ground) China. Bahkan, batas wilayah penangkapan itu masuk sejauh puluhan mil dari perbatasan Indonesia di Laut Natuna. Peta itu diberlakukan secara sepihak oleh China sejak 1994.

Dari situ, China mengklaim 80 persen wilayah LCS sebagai wilayahnya. Gara-gara peta sepihak itu, China pun terlibat konflik wilayah dengan negara sekitar LCS, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Mereka punya klaim wilayah di LCS yang tumpang tindih dengan klaim China. Dari semua negara itu, Filipina sudah mengajukan kasusnya ke pengadilan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, walau China mengatakan tidak mengakui dan tidak akan menerima apapun hasil keputusan mahkamah itu.

Menancapkan Hegemoni

Indonesia tidak terlibat dalam sengketa klaim itu. Kepulauan Natuna sudah jelas adalah milik Indonesia, dan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna ini juga diakui China. Namun, wilayah perairan Natuna yang berada dalam ZEEI sebagian tumpang tindih dengan perairan yang diklaim China, lewat garis putus-putus tersebut. China menyebut kawasan itu sebagai “wilayah penangkapan ikan tradisional” bagi nelayan China. Seolah-olah China mau bilang, “Natuna memang milik Indonesia, tetapi perairannya milik China.”

Istilah “wilayah penangkapan tradisional” itu tidak dikenal dalam hukum laut internasional. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah menolak tegas dalih yang diajukan China. Menurut Susi, tidak ada kesepakatan internasional apapun yang mengakui atau mengenali apa yang diklaim oleh Pemerintah China sebagai “wilayah penangkapan tradisional” nelayan China.

Dengan dalih “warisan sejarah” itulah, kapal-kapal nelayan China dengan seenaknya mencuri ikan di perairan Natuna, yang sebetulnya berada dalam ZEE Indonesia. Pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal menilai, persoalan sengketa wilayah terkait illegal fishing antara China dan Indonesia akan terus bergulir jika Indonesia tak bersikap tegas terhadap China. Sebaiknya memang Indonesia menegakkan betul apa yang menjadi hukum di negeri sendiri. “Meski Indonesia bersahabat dengan China, sikap China yang kerap tidak mengindahkan kesepakatan perlu ditindak tegas. Kita harus ngomong ke China untuk setop,” ujar Hasjim.

Selain itu, China tampaknya sudah mulai menancapkan hegemoninya di ASEAN, dan sudah memiliki strategi yang cukup kuat untuk dimainkan di LCS. China dengan cerdik tidak mau berhadapan dengan ASEAN sebagai kesatuan atau kekuatan regional, tetapi menggunakan pendekatan bilateral ke beberapa negara ASEAN, seperti Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Dengan “taktik pecah belah” demikian, China bisa mengeksploitasi perbedaan posisi dan kepentingan di antara negara-negara ASEAN.

Nota-nota protes dari China tentang penangkapan kapal-kapal nelayan China oleh Indonesia hanyalah gerakan kecil. Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hizkia Yosie Polimpung mengatakan, keberanian China menunjukkan hegemoninya disebabkan tidak adanya gerakan dari Indonesia. Persoalan LCS akan terus berlarut-larut karena Indonesia menolak menyatakan diri sedang bersengketa wilayah dengan China. Sedangkan China sudah memiliki strategi untuk memperkuat posisinya di kawasan ASEAN. **

Artikel ini ditulis oleh: