Membangun kembali suatu wilayah sesudah dilanda bencana alam yang hebat sering jadi persoalan. Bagi warga terdampak, masalahnya adalah bagaimana memperoleh dana dan sumberdaya yang sangat besar, untuk membangun kembali dari puing-puing kehancuran pasca bencana.

Yang juga krusial, bencana alam ini terkait erat dengan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara bencana alam dan kemiskinan ini jarang diulas, padahal bencana alam dapat melumpuhkan ekonomi daerah dalam sekejap.

Infrastruktur, yang menjadi penopang kehidupan masyarakat, hancur total. Sehingga masyarakat di daerah itu jatuh miskin. Tabungan masyarakat habis untuk memulihkan ekonomi keluarga. Pinjaman bank tidak terbayar, dan masyarakat peminjam terpaksa menunggak hingga berbulan-bulan, dengan risiko aset jaminan bisa dilelang atau disita pihak bank.

Hasil penelitian Bank Dunia (2016) tentang dampak sosial-ekonomi di 117 negara menyatakan, kerugian masyarakat yang kehilangan kesejahteraannya akibat banjir, badai, letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami, sebesar 520 miliar dollar AS (sekitar Rp 6.948 triliun). Jumlah itu 60 persen lebih besar dari laporan kerugian aset.

Total nilai kehilangan kesejahteraan itu setara dengan total kehilangan kemampuan konsumsi. Masyarakat terdampak bencana tidak berdaya secara ekonomi, karena daya belinya rendah. Selama bencana dan masa pemulihan pasca bencana, ketergantungan ekonomi mereka sangat besar.

Untuk menanggapi potensi dampak terburuk bencana terhadap masyarakat semacam itu, Indonesia –yang banyak wilayahnya rentan bencana– perlu asuransi bencana alam. Indonesia perlu skema asuransi untuk rumah tinggal, yang memungkinkan warga membangun kembali rumahnya dengan cepat dan lebih baik.

Meski mungkin tidak menuntaskan semua masalah, ini bisa sangat membantu masyarakat yang terkena dampak bencana.
Indonesia sudah sering kali dilanda bencana alam, yang memakan korban harta benda dan jiwa manusia. Indonesia memang rentan bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Dampak tsunami tahun 2004 di Aceh dan Sumatera Utara adalah contoh kehancuran infrastruktur dan rumah tinggal warga yang masif dan meluas.

Menurut kajian Kornelius Simanjuntak, dalam disertasi doktornya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 2016, dari sejumlah bencana alam, proses rehabilitasi dan rekonstruksi banyak terkendala dan cenderung lambat. Hal ini karena warga korban bencana kehilangan sumber ekonomi, sementara dana bantuan pemerintah tidak memadai. Hal itu memperpanjang penderitaan korban.

Namun, untuk menerapkan asuransi bencana, harus dicari skema asuransi yang cocok untuk kondisi Indonesia. Kornelius telah melakukan studi di tujuh negara rentan bencana, yang telah menerapkan skema asuransi bencana alam. Yaitu, Jepang, Selandia Baru, Perancis, Turki, Taiwan, Meksiko, dan California (Amerika Serikat).

Negara-negara tersebut telah menerapkan asuransi bencana dan terbukti efektif dalam pemulihan pasca bencana. Selandia Baru adalah pelopornya, yang sudah memulai pada 1944. Disusul Perancis (1946), Jepang (1949), California (1996), Turki (2000), Taiwan (2002), dan Meksiko (2006).

Karena ada kemiripan dengan Indonesia, ada baiknya jika kita melihat contoh dari Jepang. Negara kepulauan itu telah memulihkan korban tsunami 11 Maret 2011 dalam waktu yang relatif singkat. Padahal tsunami terkuat dalam sejarah Jepang itu telah menghancurkan 1.166.198 rumah.

Seluruh kerugian teratasi dengan klaim asuransi setara dengan Rp 125,79 triliun. Dalam waktu 100 hari sejak terjadinya tsunami, perusahaan umum asuransi Jepang –yang tergabung dalam skema asuransi gempa bumi rumah tinggal– membayar klaim sebesar Rp 100 triliun untuk 555.004 unit klaim atau 92,2 persen dari total klaim.

Dalam tsunami Jepang, 28.612 kapal nelayan hancur, juga 319 pelabuhan dan 1.725 fasilitas perikanan dengan total kerugian Rp 120 triliun. Setelah tsunami, masyarakat nelayan bisa memiliki perahu lagi atau kapal ikan dari asuransi. Secara bertahap, penggantian kapal ikan dilakukan, dan aktivitas nelayan pasca tsunami pun bergerak lagi.

Menurut Kornelius, yang juga praktisi asuransi dan dosen di FHUI ini, pembayaran ganti rugi cepat melalui skema asuransi itu berhasil mengatasi masalah sumber dan ketersediaan dana, serta kecepatan waktu.

Situasi di Jepang itu berbeda dengan kasus tsunami Aceh 2004, di mana proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan tempat tinggal umumnya dilakukan berdasarkan bantuan dana asing.

Kornelius berpendapat, skema asuransi bencana alam yang sesuai dengan Indonesia adalah yang dilandasi semangat tolong-menolong. Model ini mewajibkan semua penduduk mengasuransikan bangunan rumahnya dari risiko bencana alam.

Polis asuransi menjadi salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi, jika warga ingin memperoleh pinjaman atau KPR (kredit pemilikan rumah), yang besaran preminya disesuaikan dengan zona risiko dan kualitas konstruksinya. ***

Artikel ini ditulis oleh: