Ketua Pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) Rachmawati Soekarnoputri (kanan) bersama Kuasa Hukumnya, Yusril Ihza Mahendra (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait kasus dugaan makar di Jakarta, Rabu (7/12/2016). Rachmawati dengan tegas membantah tuduhan makar yang disangkakan padanya terkait aksi bela Islam jilid III pada 2 Desember 2016. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago mengingatkan agar rezim pemerintahan Jokowi-JK harus berhati hati dan jangan terlalu cepat mengambil sebuah kesimpulan yang melompat.

Hal ini dikatakan Pangi saat menanggapi penangkapan sejumlah aktivis yang diduga makar menjelang aksi 212 oleh kepolisian.

“Terakhir adalah Hatta Taliwang, sementara makar enggak ada. Bagaimana kemudian pemerintah membuktikan ada makar? Buktinya pada aksi 212 enggak ada peristiwa makar, aman saja,” ujar Pangi di Jakarta, Minggu (11/12).

“Polri mesti tetap pada trayek profesional dan proporsional. Jangan dikit-dikit makar,” tambahnya.

Lebih lanjut, Pangi mengungkapkan, dulu di rezim Orba jika mengkritik maka dibilang PKI, anti pancasila, dan anti kebhinekaan. Nama Pancasila pernah kurang popular dan ditinggalkan rakyat, tidak menarik lagi akibat ideologi yang disucikan (political religion) bukan ideologi agama yang disucikan, tapi Pancasila yang “disucikan” sebagai mantra kekuasaan Soeharto, dalam rangka menghabisi lawan-lawan politiknya.

“Pertanyaan sederhana saya, apa bedanya situasi sekarang dengan masa lalu ?,” cetusnya.

Pancasila yang kemudian menjadi instrumen Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun. Itu lah kemudian mengapa akhir tahun 1990 pancasila sempat tidak populer dan ditinggalkan. Karena pancasila disucikan untuk kepentingan komoditas politik. Baru tahun 2000 Indonesia kembali ke trayek Pancasila, elergi dengan P4.

“Padahal pancasila tak punya dosa. Yang salah adalah rezim menjadikannya Pancasila sebagai mantra kekuasaan,” ungkap Pangi.

Acapkali berseberangan; yang menentang, yang melawan. Era di mana yang mengkritik pemerintah dengan aksi demontrasi, kemudian distempel anti pancasila dan tidak loyal pembangunan. Karena dinggap kekuatan oposisi menganggu stabilitas politik nasional, maka dihalalkan darahnya untuk di bunuh dibuang ke laut.

“Tahanan politik cukup banyak,” katanya.

Sementara, lanjut Pangi, jika dibandingkan dengan era SBY, hampir tidak ada tahanan politik yang dituduh makar dan macam macam. Jangan-jangan, menurutnya, benar juga bahwa kepemimpinan sipil punya potensi jauh lebih otoriter dibandingkan kepemimpinan berlatar belakang militer.

“Apa bedanya sekarang, mengkritik, aksi demontrasi, orasi menyampaikan aspirasi, dituduh macam-macam, sekarang disebut tidak pro kebhinekaan ? Yang mengkritik dan demo dianggap tidak mendukung program pemerintah. Rezim kerja-kerja menjadi simbol,”

“Dulu Soeharto dikenal sebagai bapak pembangunan, kalau sekarang yang sekarang bapak kerja-kerja,” tukasnya.

Menurut Pangi, kini sudah mulai mengeliat gelagat rezim otoritarian. Dimana, berkumpul dituduh macam-macam, makar tak terbukti aktivis tetap dituding dan ditangkap.

“Ini ancaman serius bagi perkembangan demokrasi kita.  Nanti akan ada rezim ketakutan bagi rakyat untuk mengkritik pemerintahnya. Padahal mengkritik pemerintah bagian dari masyarakat yang sudah rasional,” pungkasnya.

(Laporan: Nailin)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka