Indonesia tahun 2016 ini masih banyak diwarnai konflik agraria. Harapan warga untuk memperoleh keadilan, terutama yang terkait dengan dampak lingkungan dan sosial dari pembangunan industri terhadap nafkah-kehidupan mereka,  masih memerlukan perjuangan panjang. Dalam hal ini, peranan para ilmuwan dan akademisi, dalam mendukung perjuangan warga, sangat krusial dan patut mendapat apresiasi.

Ini terlihat pada kasus keluarnya izin lingkungan untuk pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia di daerah Rembang. Pembangunan pabrik semen akan sangat berpengaruh pada warga setempat, yang tinggal di sekitar pabrik tersebut.

Puluhan akademisi dan lembaga riset telah mengajukan Amicus Curiae atas peninjauan kembali pada Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang dan Putusan PTUN Surabaya, yang menyidangkan kasus gugatan masyarakat atas terbitnya izin Lingkungan PT. Semen Indonesia. Amicus Curiae ini telah  diserahkan ke Mahkamah Agung pada 24 Agustus 2016. Putusan yang dimaksud adalah Putusan PTUN Semarang Nomor 064/G/2015/PTUN.SMG (Joko Prianto dkk. v. I. Gubernur Jawa Tengah; II. PT. Semen Gresik) dan Putusan PTUN Surabaya Nomor 135/B/2015/PT.TUN.SBY.

Amicus Curiae (jamak: Amici) adalah sebuah istilah hukum yang berasal dari Bahasa Latin yang secara harafiah dapat diartikan sebagai “sahabat pengadilan” atau “friends of the court”. Amicus Curiae merujuk pada seseorang atau sekelompok orang yang tidak terkait dengan perkara, namun  mempunyai kepentingan yang sangat relevan dengan materi perkara. Orang atau kelompok orang dimaksud dapat menyampaikan pendapat/opini hukum secara sukarela dan independen kepada Majelis Hakim.

Amicus Curiae ini diajukan karena adanya pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang, Pegunungan Kendeng. Dengan berdirinya pabrik semen, maka kearifan lokal masyarakat sekitar juga ikut terdampak, hal ini terbukti dengan munculnya konflik horisontal di dalam kehidupan masyarakat Kendeng akibat pembangunan pabrik.

Secara kultural, masyarakat Rembang yang akan terdampak pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia, mayoritas bekerja sebagai petani. Ketika pabrik semen tersebut nanti berdiri, ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi pertanian masyarakat. Salah satu dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat adalah berkurangnya sumber mata air.

Adanya penambangan batu kapur di sekitar pabrik, secara otomatis akan mematikan sumber mata air, yang digunakan oleh masyarakat untuk melakukan irigasi pada areal persawahan. Dengan demikian, itu akan berdampak pula terhadap area persawahan yang digarap oleh para petani.

Amicus Curiae (sahabat pengadilan) ini diajukan untuk memberikan pertimbangan hakim dalam menangani perkara. Amicus Curiae diajukan oleh lembaga dan individu yang menaruh perhatian terhadap masalah lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia. Amicus curiae ini diajukan oleh 11 lembaga riset hukum, lingkungan, dan hak asasi manusia, serta 20 akademisi dari berbagai disiplin ilmu dan kampus di Indonesia.

Dr. Herlambang P. Wiratraman, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yang mewakili para pengaju Amicus Curiae, mengatakan, “Nurani kami terusik karena adanya pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang dan pertambangan lain di berbagai wilayah yang dipastikan akan menghilangkan sebagian mata pencaharian para petani. Apabila masyarakat tidak bisa bertani, jumlah pengangguran di Indonesia akan bertambah.”

“Padahal, negara belum sepenuhnya bisa membuat atau memberikan lapangan kerja bagi rakyatnya. Pada saat negara belum mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyatnya, negara justru merugikan masyarakatnya dengan merampas mata pencahariannya,” tutur Herlambang.

Menurut Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), penggunaan amicus curiae bukanlah bermaksud untuk mengintervensi hakim. Namun, ini adalah upaya untuk memberikan bantuan kepada hakim, dalam menggali lebih dalam permasalahan atau kasus yang ditangani oleh hakim, sehingga diharapkan putusan hakim bisa mempunyai sifat yang lebih holistik. Hal itu karena didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang lebih lengkap, mendalam, dan menggunakan berbagai pendekatan yang menyeluruh.

Hariadi menegaskan, penggalian nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat merupakan kewajiban para hakim sebagai bahan untuk draf putusan. Hal itu juga amanat dari Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dinyatakan di sana, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Amicus Curiae ini memaparkan sembilan pemikiran yang mendasar untuk dipahami oleh Hakim TUN, yaitu (1) Pengadilan Harus Mempertimbangkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), mengingat munculnya gugatan warga Rembang berawal dari ketidaktaatan Pemerintah Kabupaten Rembang terhadap UU KIP itu; (2) Adanya salah tafsir terhadap tafsir daluwarsa; (3) Terjadi kekeliruan dalam putusan Majelis Hakim; (4) Tambang yang sama sekali tak berpihak pada perlindungan nasib para petani; (5) Pengabaian perlindungan atas kearifan lokal masyarakat setempat; (6) Tambang berdampak pada pemanasan global; (7) Adanya pelanggaran hukum tata ruang dan Amdal yang tidak valid; (8) Terjadi kebobrokan Amdal PT Semen Indonesia; serta (9) Perlunya hakim mempertimbangkan dampak sosial-budaya rencana pembangunan pabrik semen di Rembang.

Amicus Curiae berasal dari tradisi common law. Meski demikian, amicus curiae sudah mulai dilakukan oleh Indonesia yang mempunyai tradisi civil law. Sudah ada beberapa kasus penting di Indonesia yang menggunakan amicus curiae, seperti: kasus Prita Mulyasari, Upi Amaradana, dan Peninjauan Kembali (PK) kasus Majalah Time versus Soeharto. Dalam perkara PK Majalah Time, lembaga-lembaga yang terlibat dalam amicus curiae terdiri atas berbagai lembaga yang kredibel dan berasal dari luar negeri.

Hal ini menunjukkan, amicus curiae merupakan salah satu mekanisme yang digunakan untuk membantu hakim dalam merumuskan putusan yang adil. Dalam tradisi judex juris hakim diharapkan tidak hanya mempertimbangkan pasal-pasal saja, tetapi hakim harus mampu menafsirkan pasal-pasal tersebut dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam perkara yang ia tangani.

Ini semua dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan keadilan yang substantif. Ketika keadilan substantif diterapkan, maka fungsi pengadilan telah berjalan dengan sempurna, karena tidak ada permasalahan yang muncul akibat putusan yang hakim keluarkan. Begitulah esensi peradilan, diciptakan. Yakni untuk menyelesaikan permasalahan, bukan malah membuat permasalahan baru. Kita berharap, dengan adanya Amicus Curiae ini akan menghasilkan putusan hukum yang lebih memberi rasa keadilan bagi rakyat. ***

Artikel ini ditulis oleh: